Judul Buku :
Musyahadah Cinta, Mahar untuk sang kekasih
Penulis : Risty Bulqies Hamdani
Penerbit : Pustaka Al-Furqan, Yogyakarta
Cetakan : I, September 2007
Tebal : xiii + 211 hlm.
Peresensi
: Ainur Rasyid*
Dalam tradisi sufi, kebutaan biasanya dikaitkan dengan suasana rohani
yang gulita. Bagi seorang sufi mengalami buta hati adalah bencana. Rabi’ah
al-adawiyah, perempuan pelaku jalan sufi aliran Pencinta Sejati (Al Mahabbah)
abad 8 Masehi sampai memberikan pilihan ekstrem pada Tuhan: lebih baik buta
mata daripada buta hati terhadap-Nya.
Untuk membuktikan kecintaannya, seseorang yang menjalani dunia
sufi (dunia peleburan diri) harus memberikan sesuatu yang lebih atau bisa
dibilang seseorang pencinta harus mengeluarkan mahar untuk untuk sang maha
dicinta, sebagai bukti asketismenya terhadap yang maha dicinta. Namun mahar
dalam dunia sufi tidak seperti yang lazim di berikan untuk seorang pencinta
laki-laki kepada perempuan yang dicintainya yang hanya uktuk keperluan rukun
dalam pernikahan. Akan tetapi sebagai pemberian penuh kerelaan. Kemudian jika dibalas
sebagian dari mahar itu, dengan senang hati, maka makanlah
(ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) sebagai bentuk peleburan dirinya.
Sampai saat ini dunia cinta masih menjadi teka-teki bagi seseorang yang
mencoba untuk bermain-main dengan dunia cinta, baik cintanya bersifat
horisontal maupun vertikal. Ketika sesorang yang masuk dunia cinta yang
totalitas dalam menjalankannya, maka tidak akan pernah menemukan ujung
kenikmatan. Karena semakin dalam memasuki dunia cinta, maka semakin
tenggelamlah orang yang menjalankan. Dalam artian kenikmatan cinta sudah lewat
dalam dirinya dan mabuk terhadap selain yang dicintai. Ketika suasana seperti
ini terjadi maka sang pencinta sulit untuk berinteraksi dengan selain yang
dicintainya.
Kehadiran buku ini memcoba menawarkan resep baru tentang bagaimana
menjalankan dunia cinta yang sesuai dengan konsep Islam. Bisa dibilang merupakan resep awal untuk menumbuhkan
pribadi yang sehat rohaniah. Jika kesehatan rohani telah tersandang, maka akan
memantikkan pengaruh positif yang menyelubungi seluruh aktivitas jiwa dan raga
seseorang. Nuansa dan aura positiflah yang menggerakkan seorang hamba untuk
meraih cinta-Nya. Karena Allah tidak
bermain-main dengan statemenNya yang terkemas dalam Hadis Qudsi yang
diprakarsai oleh Bukhari dari Abu Hurairah, bahwa kekuatan dan kehebatan
cintaNya tidak akan menggunjam ke dalam jiwa dan menjadi benteng ragawi
kekasihNya meski masih dalam hidup
kefanaan. Tanpa mengerti jalan rohani, maka sang hamba sulit untuk mengenal
yang dicintai dan salah satu sayarat untuk mengerti jalan rohani itu harus
diawali dengan amalan atau tindakan yang hanya didekasisikan demi meraih
keridhaanNya
Sebagian orang menganggap mahar
sebagai bentuk jaminan, dengan pertimbangan bahwa wanita adalah bagian terlemah
dalam struktur sosial, dan biasanya ia tidak memiliki banyak kesempatan agar
produktif. Karenanya ia perlu kepada semacam jaminan, yaitu adanya orang-orang
lain-seperti ayah dan suami-yang menanggung tanggung jawabnya, atau adanya
simpanan harta yang menjamin pekerjaannya atau maharnya. Jaminan ini tampak
tidak begitu mencolok dalam aspek syariat tentang mahar, meskipun secara
realistis hal itu terkadang dijamin. Mahar dalam istilah syariat adalah apa
yang diberikan pria kepada wanita dalam akad perkawinan, baik berupa harta atau
yang lainnya tanpa ganti apa pun, dan dia harus diberikan kepada wanita atas
dasar kerelaan antara pria dan wanita. Demikian juga mahar dalam tradisi sufisme
apapun yang diberikan seseorang yang mulai mencintai Allah dengan pembersihan
rohaniah, harus rela apapun yang diberikan kepadaNya dan tanpa mengharapkan imbalan sesuatu dariNya. Biarlah
tuhan sendiri yang mengaturnya pemberianNya. Tidak mengatur Allah dengan
egoitas spiritualnya.
Dan mahar disini dimaksukkan diberikan agar menemukan peta jalur Babussalam,
dan sampai di hamparan alam musyahadah (alam penyaksian), seseorang
harus tak pernah lepas dari pakaian dan perhiasan berupa zikr Ism az-Zat. Mengingat
nama Zat dalam keseharian, yakni selam menghirup dan menghembuskan nafas,
jantung berdetak, darah bertransfusi keseluruh organ tubuh, getar nadi dan
semua aktivitas ragawi, secara terus menerus samapai Zat pemilik Asma’ul
Husna itu memberikan makrifat ke
dalam kalbu sanubari. Karena bagaimanapun orang seseorang yang telah menemukan Musyahadah
Cinta, tidak akan goyah dan tetap memegang teguh aturan-aturan beribadah
dan mengaplikasikannya dan tindakan.
Risti Bulgis Hamdani penulis buku ini mencoba mengangkat harkat
martabat cinta seorang perempuan yang selama ini tidak dihiraukan oleh kalangan
para sufi, meski kongres perempuan pertama yang dilaksanakan di Yogyakarta pada
tanggal 22-25 Desember 1928, yang merupakan tonggak awal sejarah kebangkitan
harkat perempuan khususnya di Indonesia. Akan tetapi ketika dikaitkan dengan
dunia spiritual, perempuan tetap saja tidak ada apa-apanya, serta tidak adanya
cerita yang mengangkat kesufian perempuan baik dalam kisah kalsik maupun
modern. Meski ada, akan tetapi yang paling ditonjolkan adalah kesufian
laki-laki.
Konsep-konsep untuk menemukan Musyahadah cinta dalam buku ini tak sekedar
bunga rampai teoretis belaka. Penulis bersama sang suami memang pelaku sufisme yang komprehensif, karena itu, dalam uraiannya
tampak konfigurasi teoretis yang bersifat intuitif ilahiah diracik dengan
pengalaman pribadinya bercinta denganNya, dan tidak membataskan dirinya
perempuan untuk mengurangi kecintaanNya.
* Ainur Rasyid, adalah Mantan Derektur eksekutif TBM “Zainal Arifin” Yogyakarta. Kini tinggal di Jakarta
0 komentar:
Posting Komentar