Oleh Bandung Mawardi
Jagad Madura dikisahkan dengan apik dalam Mata Blater (Matapena, 2010) melalui olah imajinasi, bahasa, dan
kepekaan simbolistik oleh Mahwi Air Tawar. Pengarang asal Madura ini mengusung
pelbagai kisah impresif untuk mengantarkan pembaca dengan pilihan menu khas
Madura. Jagad Madura memang identik dengan karapan sapi, celurit, blater, atau
tandak. Ramuan kisah tentang semua itu hadir dalam kelihaian pengarang untuk
menggauli Madura secara intim.
Blater? Pengarang memakai tokoh ini sebagai cara menarasikan
geliat manusia Madura dengan latar sosial, agama, dan kultural. Pembaca tak
susah kerepotan mengenali sosok ini dengan rekaan tanpa acuan. Pengarang
sengaja memberi keterangan tentang blater untuk melegakan rasa penasaran
pembaca. Penjelasan gamblang termaktub dalam cerpen “Mata Blater” dan “Tandak.”
Pengarang melalui tokoh Madurusin tampak mafhum tentang dunia blater.
Blater adalah tokoh penting dan jagoan. Blater memiliki pengaruh
penting karena dihormatian dan ditakuti. Pengarang mengisahkan mereka sebagai
tokoh menentukan dalam pelbagai
aktivitas keseharian masyarakat Madura. Joni Ariadinata dalam kata pengantar
blater sebagai sebuah simbol dari kekuatan kejantanan untuk dipatuhi. Simbol
ini melengkapi simbol religius pada sosok kiai di jagad Madura. Tokoh blater
dipilih pengarang demi menarasikan secara intim mengenai ketegangan dan sosial-kultural
Madura.
Simbol
Kepekaan atas identitas Madura juga dihadirkan pengarang melalui
ketaletanan menjelaskan masalah karapan sapi. Harga diri dipertaruhkan dalam
karapan sapi. Harga diri dipertaruhkan dalam karapan sapi. Lakon kehormatan dan
malu dipergelarkan melalui karapan sapi. Orang Madura menjadi karapan sapi
sebagai jalan identifikasi mengafirmasi identitas kultural. Segala bias
dipertaruhkan demi kemenangan dalam karapann sapi. Heroisme disajikan sebagai
spirit dari lakon kehidupan orang Madura.
Orang juga menonton karapan sapi seperti menonton diri dan orang
lain dalam proses mengontruksi identitas. Simbolisasi karapan sapi dalam cerpen
“Bulan Selaksa Celurit” dan “Karabhan Sapi” terasa memikat karena memberikan
gambaran tentang kesakralan dan godaan untuk melakukan kecurangan demi
memenangkan karapan sapi. Sisi terang dan gelap dihadirkan sebagai cara
menelisik anutan historis-kultural dan proses perubahan dalam pemaknaan karapan
sapi. Pelbagai kisah cinta, komersialisasi, keretakan keluarga, atau konflik
kerap identik dengan karapan sapi.
Pengisahan melalui sapi juga dihadirkan pengarang dalam cerpen
“Sapi Sonok.” Cerpen ini impresif karena kelihaian memunculkan fragmen kental
tentang lokalitas. Mahwi Air Tawar mengisahkan: “Sekujur sapi sonok itu dilulur
bedak kuning. Mereka berlenggang seiring irama saronen itu: perayaan bagi
sepasang sapi sonok, sebelum diarak menuju kuburan demi memperoleh restu
leluhur agar pesona kecantikan dalam kontes besok siang terus memancar, tak
kusut.” Sapi menjadi pintu kisah membaca dan menilai jagat dan manusia Madura.
Pengarang mengajukan celurit sebagai simbol Madura. Makna dan
fungsi celurit dijelaskan dalam cerpen “Bulan Selaksa Celurit.” Celurit identik
dengan perkelahian atau konflik dengan menunjukkan kelelakian dan heroisme.
Celurit juga hadir dalam cerpen “Karabhan Sapi” sebagai senjata untuk meraih
kemenangan karapan sapi. Celurit digunakan untuk menghabisi nyawa sapi milik
lawan sebelum pertandingan karapan sapi. Celurit memuncratkan darah sapi.
Simbolisasi celurit terasa menegangkan dalam cerpen “Mata Blater”
dalam sebuah adegan: “Pelan-pelan Madrusin mengeluarkan celurit dari balik
punggungnya. Lalu dengan celurit itu dipotongnya tiga helai rambut Sati, yang
kemudian dimasukkannya ke dalam cangkir kopi. Sambil meletakkan celurit di atas
meja, Madrusin berganti-ganti menatap Nuksin dan Idrajid.” Celurit sebagai metafor
apik tertuliskan dalam cerpen “Mata Blater.” Pengarang menulis: “Madrusin…
lelaki dengan sorot mata setajam ujung celurit yang siap menghunjam,
mengiris-iris tubuh orang yang lancing membangkang terhadapnya.”
Persembahan
Jagad Madura dalam cerpen-cerpen Mahwi Air Tawar terasa memiliki
ciri berbeda dengan ikhtiar penulisan puisi dari Zawawi Imron dan Abdul Hadi
WM. Perbedaan medium juga menentukan. Cerpen memang longgar untuk menjadi lahan
penjelesan ketimbang puisi. Kelonggaran ini memberi pilihan pada Mahwi Air
Tawar untuk mengola kepekaan emosional, kelunturan bahasa, dan kecanggihan imajinasi.
Pengisahan jagad Madura melalui cerpen dengan bahasa Indonesia memang rentak
reduktif tapi pengarang mengatasi itu dengan narasi puitik dan aksentuisi
deskripsi latar ataukarakterisasi tokoh.
Olah bahasa Mahwi Air Tawar untuk menggoda pembaca dengan metafora
bias dibandingkan dengan puisi “Celurit Emas” dari Zawawi Imron: roh-roh berbunga yang layu sebelum semerbak
itu/ mengadu ke hadapan celurit yang ditempa dari/ jiwa. celurit itu hanya
mampu berdiam, tapi ketika tercium bau tangan/ yang/ pura-pura mati dalam
terang/ dan/ bergila dalam gelap/ ia jadi mengerti. Pembaca juga bias
mencari kesanggupan metafor dalam mengisahkan jagad Madura melalui puisi-puisi
Abdul Hadi dalam buku Madura, Lhuang
Prabhang (2006).
Mahwi Air Tawar dengan buku kumpulan cerpen Mata Blater telah menyapa pembaca. Sapaan ini mengacu pada
intimitas pengarang dengan Madura. Proses kreatif telah terjelmakan dengan
kesadaran atas akar historis-kultural. Cerpen jadi pilihan untuk pembaca bias
mengimajinasikan jagad Madura dan mengenali manusia Madura. Buku dengan memuat
12 cerpen ini persembahan lanjutan dari deretan para pengarang dari Madura
untuk menyemai spirit lokalitas dalam laju kencang sastra Indonesia modern.
Begitu.
0 komentar:
Posting Komentar