Judul : Karapan Laut
Penerbit : Komodo Books
Penulis : Mahwi Air Tawar
Cetakan : ke-1 Januari 2014
Tebal : vi+114 hal. 13X18,7 cm
ISBN : 978-602-9137-63-7
Peresensi : Khairul Umam
Madura, adalah sebuah nama yang selalu
melekat dalam setiap perbincangan kaum intelektual, meski dalam wacana yang
beragam. Namun, Madura yang kita kenal sudah mengalami banyak perubahan apa
lagi pascaterwujudnya pembangunan suramadu yang sudah diimpikan sejak tahun 1990-an.
Madura sebagai Madura sudah mulai kehilangan bentuknya, bisa dilihat dari
struktur bangunan, kehidupan sehari-hari, dan pemahaman generasinya terhadap
kemaduraan.
Namun di balik itu, sayup-sayup masih
ada beberapa tempat di Madura yang tidak kehilangan ke-Maduraan-nya. Hanya saja
mereka tinggal di kampung jauh yang hampir tak tersentuh. Mayoritas masyarakat
Madura lebih enjoy dengan budaya baru yang datang kemudian. Mereka lebih suka
meniru dari pada tampil sebagai dirinya sendiri, sebagai representasi kemajuan
yang dipersepsikan salah. Dalam kredo kaum strukturalis mengatakan bahwa setiap
kebudayaan adalah setara dan mempunyai kemajuannya sendiri yang tidak bisa
dibandingkan dengan kebudayaan masyarkaat lain (baca:Levi-Strauss). Hal ini
mengindikasikan bahwa kekhasan kebudayaan yang dimiliki suatu masyarakat adalah
kekayaan tak ternilai dan harus dijaga demi kelangsugan kehidupan yang harmonis
dan berkemanusiaan, karena kebudayaan yang dimiliki tidak hanya sekadar fisikal
namun juga sakral. Dari kebudayaan itulah jati diri suatu masyarakat terbentuk.
Untuk mengembalikan jati diri inilah kumpulan
cerpen Karapan Laut hadir. Dalam
kumpulan cerpen ini terkumpul sebanyak dua belas cerpen dengan setting dunia
pesisir. Dari sekian cerpen yang terkumpul terlihat jelas kehadiran
ke-Madura-an yang telah lama hilang.
Sebagai pulau gersang dan dipenuhi tanah
tegalan karakter masyarakat Madura terkenal keras (yang tidak berarti selalu
jahat), ulet, dan tak pantang menyerah (baca: Huub de Jonge). Semua penggabaran
ini terdapat dalam kumcerpen Karapan Laut.
Dari keseluruhan isi cerpen ini, wajah
keras dan kekhasan orang Madura begitu kentara. Ia inhern sehingga caci maki
dan celoteh-celoteh keras seperti patek,
tengik, bajing, dan sennok akrab
didengar ketika sang tokoh mengalami tekanan atau masalah. Namun, di balik
kekasaran itulah tersimpan keuletan dan sifat tak pantang menyerah. Dikisahkan
bagaimana Ramuk yang sebenarnya tidak begitu bisa berenang masih memaksakan
dirinya untuk tetap bertanding dengan Mattasan yang sudah pasti jago (Anak-Anak laut:hal.01), juga Brudin yang
harus tetap berenang menghalau badai besar demi memenuhi suatu tujuan, padahal
dia masih bisa melakukannya besok atau lusa setelah badai tak ada lagi (Ujung Laut Perahu kalianget:hal.49). Ketabahan
dan ketangguhan juga tergambar dalam sikap Markoyah yang hingga hari tuanya
tetap menjajakan dagangannya berkeliling desa, meski pelanggan mulai sepi dan
berakibat pada hasil yang didapatkannya juga tak seberapa (Bindring:hal.94).
Pun
suasana mistis yang sering dikaitkan dengan Madura, juga dihadirkan dengan
begitu meyakinkan. Sebenarnya ini berkaitan dengan ideologi masyarakat Madura
yang mayoritas adalah Nahdliyyin. Dalam ajarannya, kaum Nahdliyyin mencoba
membuat islam berwajah lokal (Madura). Jadi, sebelum islam masuk ke Madura,
masyarakat di sana mempunyai kebiasaan datang ke tempat-tempat keramat untuk
meminta sesuatu yang diinginkan. Hal ini tidak terlepas dari keyakinan yang
dimiliki masyarakat Jawa karena mereka masih satu keturunan. Pada akhirnya yang
berbau Kapitayan (Baca: Agus Sunyoto) dicoba untuk dikolaborasikan oleh
penyebar islam di Pulau ini. kita bisa melihat bagaimana Kacong yang melakukan
ritual di sebuah kuburan leluhur untuk upacara balas dendam terhadapa mertuanya
(Tubuh Laut:hal.17). Pun Durakkab
yang sering diminta membacakan doa setiap peziarah datang di kuburan yang
diyakini leluhur desanya yang berhasil dibabatnya (Wasiat Api:hal.67). Seperti yang dilakukan kedua tokoh di atas,
istri Kiai Subang juga mencoba mendatangi kuburan leluhurnya untuk upaca letre’ demi mencegah rencananya menikah
lagi (Letre’:hal.83).
Dari ketiga cerpen itu terlihat jelas
bahwa perjalanan mistis masyarakat Madura, yang dalam konsepnya Geertz
dikaitkan dengan abangan, begitu kental. Dalam cerpen ini digambarkan dua susana
mistik yaitu mistik sebagaimana pada awalnya dan juga mistik yang hadir setelah
dipengaruhi oleh agama Islam. Meski tak jarang orang menilainya sebagai kekolotan
tapi perilaku mistik yang diamalkan sebenarnya mempunyai berbagai makna dan simbol.
Dalam konteks inilah anggapan kolot pada masyarakat Madura harus ditinjau
ulang. Betapa pun tidak diakui, setiap orang, bahkan yang paling maju sekali
pun juga mempunyai mestiknya sendiri.
Menurut saya Karapan Laut sudah berhasil mengangkat lokalitas Madura yang pada
saat ini sudah banyak dilupakan oleh generasinya. Penggambarannya meyakinkan,
teknik penulisannya pun sangat rapi. Hanya ada beberapa masalah yang perlu
diperhitungkan bahwa masih ada kata yang salah ketik dan juga pemihakan pada
kekerasan masyarakat Madura yang begitu menonjol pada akhirnya akan mengokohkan
steriotipe yang telah begitu lama tertanam. Namun, secara keseluruhan buku
kumpulan Cerpen Karapan Laut ini bisa
menambah referensi kita tentang Madura bagi generasinya atau bagi peneliti yang
ingin mengetahui Madura lebih dalam. Selamat membaca!
Sumber tulisan Radar Madura Minggu, 13 April 2014
0 komentar:
Posting Komentar