CIUMAN
TERAKHIR MENJELANG KEMATIAN
di bawah matahari
yang meledakledak
keringat begitu keras
melumuri tangan malaikat
dan aku yang
terpingsan-pingsan dekat jendela
memandang wajahmu
dengan gaib asmaradana
"tuhan, beri aku
ciuman sebelum nyawa merenggang
"meninggalkan
tanah surga yang jalang rupawan"
dan matahari mulai
lingsir kesebelah wuwung
malaikat
merayap-rayap mencari letak nyawa
tangis begitu
mengharap hingga ini kamar bagai debur gelombang
tangan menggapai
meraih-raih alam lain yang penuh camar
"tuhan, beri aku
ciuman biar segera melesat ini sukma
dan terlemparlah
bangkai badan dari biru semesta"
ADALAH
DARAH
tetapi bagiku puisi
adalah darah
dan engkau begitu
maksa merampasnya
padahal di sana ada
tuhan
ada janji dan
kematian
dan engkau terus saja
tak peduli
seakan permainan
dan puisi bagiku
tetaplah darah
meski kau
tampartampar ini wajah
setelah melipat
syairnya
dan meberendongkan
ancaman merobeknya
engkau telah
kuperingatkan
namun terus saja tak
mau mengerti
berlari tinggalkan
engkau dari emosi
begitu kutengok
sebelum hilang lalu
dari mataku telah
berlumuran darah
sekujur tubuhmu
1996
BELATI
SUMPAH
wajahmu bergetar oleh
tangis panjang
yang sesenggukan
merontokkan musim semi
dan wajahpun
tergeragap menekan tumpahnya
menunggu engkau
menyelesaikan puisi
selanjutnya, takkala
dukamu yang sempurna
kembali mengusung
ketegaran
gerimis sore malumalu
mengalungkan pelangi
hingga ayatayat
senyumnya bertetesan di kaki
dan kerudungmu begitu
saja merentangkan sejarah
bagi jiwaku yang
terlanjur pecah
dihujam penuh kasih
oleh belati sumpah
1996
DARI
BUKIT PARANGTRITIS
Syaikh maulana
maghribi
Ku lihat makammu dari
sini
Ku kirim salam padamu
dari sini
Ku jabat tanganmu
dari sini
Ku cium wangi jubahmu
dari sini
Tetapi maaf
aku masih berada di
sini
syaikh maulana
maghribi
telah kau rentang
tangan
lambaian nama-nama
alam semesta
menunjuk-nunjuk titik
dan prahara
menerangkan gerak
gelombang
dan biru dada lautan
lalu kepadaku
kau titipkan pesan
diam
kabar langit dan
tutur kearifan
syaikh maulana
maghribi
kumohon sungguh
segera
engkau menyambung
luka jiwa
langaran kepadamu
aku merindukan
layaknya pantai
merindu lautan
yogya,
2000
POHON
JIWA
Tiada hanya siang,
malam inipun daundaun
Tasbihku berguguran,
ngelumpruk berserakan
Di pertamanan. Kota
makin ramai, para kelelahan
Para ngerumpi, dan
para pemadu kasmaran
Melemparlemparkan
daun sembari menghayati kisah
Petualangan. Akarpun
makin berjuluran
Menyerupai beringin
purba yang dituahkan
Dan tak mampu kulerai
ranting-ranting sejarahku
Bertumbukan. Di sini,
di kota yang gerah dan
Bising ini, hanya
burung-burung nuri
Yang setia menghiasi
jiwa
Merekalah yang
memilihkan
Hanya daun-daun layu
yang kering
Yang mesti
ditinggalkan
1996
ZIARAH
DOA
Dan doa adalah
Persembahyangan dalam
ziarah
Menali hasrat penuh
sedekap
Bersujud diri
merambah akrab
Lalu salam sewangi
kembang
Bagi kiri kanan tiada
pandang
Dan zikir senantiasa
sumilir
Mengalirkan cinta
dari hulu hingga hilir
Dalam doa ada senyum
shalawat
Kepada sesama erat
berjabat
Itulah ziarah
sepanjang shalat
Pinta dan rahmat
diaminkan para malaikat
DARI
SEBUAH JENDELA
Jendela yang
mengetukketuk deras hujan
Adalah bayangmu yang
tibatiba bersalam
Lalu kau buka mantel
dan memeras
Gerai rambut yang
bercucuran
Adakah yang lebih
puitik
Ketimbang senyummu
yang gemetar
Lalu binar mata dan
bening suaramu
Menghaluskan ini jiwa
dalam dingin yang nanar
Duduklah, nikmati
kopi
Dan jangan dulu
berkata-kata
Biarkan sejarah yang
barusan berputar
Mengheningkan resah
sembari
Memijit-mijit kalbu
yang kepegalan
Oleh daundaun yang
menempelkan tangan di kaca
Jendela itu kembali
terbuka
Mempersilakan
tangismu menerobos
Bersama luruh angin
yang luka
HIDUP
ATAU MAUT
Perjalanan ini begitu
mencengangkan
Pendakian ini begitu
mengerikan
Berenang ke laut tak
berpantai
Menyelam ke dasar
samudera tak bertanda
Bergayut di pohon tak
berdaun
Kehidupan adalah
pengejaran
Dari huruf-huruf
kematian
Kematian adalah
mata-rantai
Yang selalu
membelenggu dan mengintai
Pengembangan hanya
menatah
Langkah-langkah maut
yang tercecer
Sedang kerongkongan
kita
Selalau dahaga akan
rasa dan laba
Apa makna serta
hakikat rumput-rumput kering
Dan bebatuan lebur
jadi kerikil
Sedang lautan dan
gunung-gunung tak pernah akrab
Dan menyapa pada
langit
Bintang planit serta
gugusan bimasaksi
Hanya selalau kita
uji tanpa taburan maknawi
Hidup atau mautkah
ini
ODE
KETEGUHAN
Seperti barisan semut
Engkau tak menemukan
Sulaiman
Kapal Nuh telah lama
pula karam
Hanya tanah dan sisa
keyakinan
Meski itu pun kerap
digerus gundah
Engkau menanam rasa
pasrah
Sembari berharap esok
tak panen air bah
Seperti kerumunan
rayap
Orang-orang akan
menganggapmu tak ubahnya kurap
Menggerogoti tiang
dan dinding diam-diam
Menggelontorkan nanar
dan waswas di lantai pualam
Disemprotnya dengan
gas dan api
Namun engkau mempersilakan
diri
Dan tak sejangkah pun
berkehendak pergi
Yogya,
1998
PERBURUAN
DI HATI
Banyak yang tak kita
pahami
Dari putaran waktu,
seperti
Gerak putingbeliung
di hati
Lalu kita lari
menghindar
Atau jika kalah,
segera nasib
Begitu saja kan
tersambar
Tetapi terhadap hidup
Tiada lelah-lelah
kita berburu
Seperti awan mengejar
musim
Hanya sesekali
tertidur
Selebihnya kelana
laksana angin
Begitulah, dari rahim
waktu
Senantiasa berlahiran
hujan
Membasahi hati
Mengubur
kemenangan-kemenangan
Yogya,
1999
0 komentar:
Posting Komentar