Oleh Ririe Rengganis
Cerita
pendek sebagai salah satu bentuk dari karya sastra modern dapat dianggap
sebagai karya individual, sebagai “ungkapan hati” penulis dalam menggunakan
nalar dan logika ketika berhadapan dengan realitas budaya yang berada di
hadapannya. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa karya individual juga
merupakan karya kolektif dari suatu komunitas karena menggabungkan ide-ide
individual dengan tradisi kolektif milik suatu kelompok masyarakat (komunitas,
yang non-individual). Seperti halnya karya-karya Mahwi Air Tawar dalam kumpulan
cerpennya Mata Blater,
yang menggabungkan tradisi individualnya (sebagai individu dalam masyarakat
Madura) dalam memandang tradisi kolektif masyarakat Madura, tempat di mana ia
tumbuh menjadi bagian dari tradisi kolektif tersebut.
Penggunaan
tradisi dalam suatu karya, khususnya cerpen dalam hal ini merupakan aplikasi
atas cultural studies dalam sastra. Dalam kumpulan cerpen Mata Blater,
penulis (Mahwi Air Tawar) memperlakukan teks-teks tersebut sebagai salah satu
produk budaya yang menyampaikan serangkaian praktik atas aturan atau konvensi
yang ingin disampaikan pada masyarakat luas.[1] Penulis ingin menyampaikan
serangkaian bentuk-bentuk kebudayaan[2] yang “dipandang berbeda” oleh
masyarakat di luar masyarakat (komunitas), tempat tumbuhnya dengan latar
belakang yang ada dalam dirinya pada komunitas yang lebih luas. Dalam usaha
penyampaiannya tersebut, penulis memposisikan dirinya sebagai “narrate”[3]
yang membaca budaya Madura dalam pandangan budaya Madura pada masyarakat di
luar budaya tersebut (budaya Madura). Pembacaan sastra dengan latar belakang
budaya yang demikian inilah yang selanjutnya melahirkan ideologi postisme (postructuralism,
postmodernism, postcolonialism) yang menyadarkan pembaca bahwa dalam sebuah
komunitas terdapat pertentangan ideologi. Pertentangan ideologi yang terjadi
dalam hal ini, yaitu pertentangan antara ideologi pusat (yang dimiliki oleh
penulis; budaya Madura dalam masyarakat Madura) dengan ideologi bawahan (yang
“mencoba” dibaca oleh penulis; budaya Madura dalam Mata Blater).
Ideologi
sebagai salah satu bagian budaya yang digambarkan oleh penulis tentang budaya
yang dimilikinya (budaya Madura dalam masyarakat) dengan budaya yang
“dibacanya” (budaya Madura dalam Mata Blater) mengalami pertentangan
seperti yang digambarkan melalui tokoh Madrusin dalam cerpen Bulan Selaksa
Celurit. Dalam cerpen tersebut, penulis (Mahwi Air Tawar) “mencoba”
menggambarkan tradisi carok, yang biasa terjadi dalam masyarakat Madura sebagai
suatu hal yang biasa dilakukan untuk menjaga “harga diri” dan bukan sekadar
sebagai arena penumpahan darah semata. Pun dalam cerpen Kerabhen Sape,
carok dilakukan sebagai upaya menjaga “harga diri”.
Selain itu,
Mahwi pun “mencoba” memotret pertentangan ideologi dalam budaya Madura dari
sisi kelas sosial[4],
yang diwakilkan pada tokoh-tokoh dalam masing-masing cerpennya dalam Mata
Blater. Pertentangan tersebut seperti digambarkan dalam cerpen Durama,
tentang pembangunan jembatan Suramadu yang menewaskan Durama dan ayahnya,
akibat cercaan masyarakat yang menganggap ayah Durama sebagai maling dan Durama
sebagai anak maling. Pun dalam cerpen Kasur Pasir, yang melibatkan
kebijakan pemerintah dalam membangun jalan hingga pada akhirnya membuat Nyi
Marfuah meninggal, karena lahan pasir tempatnya mencari nafkah telah mengalami
pencemaran. Dalam kumpulan cerpen Mata Blater ini pun terlihat bahwa
Mahwi “mencoba” menempatkan masyarakat Madura dalam dua kelas yang berbeda
dalam Sapi Karapan dan Sapi Sonok (lelaki dan perempuan; publik
dan domestik?). Namun, pembedaan kelas yang dilakukan oleh Mahwi ini pun tetap
dihubungkan dengan satu benang merah, yaitu “harga diri” tetap harus dijunjung
tinggi, meski harus membuang darah daging sendiri sekalipun, seperti dalam
cerpen Careta Penandak. Bahkan mengorbankan diri sendiri sekalipun akan
dilakukan demi mempertahankan “harga diri”, seperti dalam cerpen Barana.
Sebagai
penutup, dalam memahami suatu karya sastra (cerpen) sebagai suatu produk budaya
diperlukan juga pemahaman budaya yang melatari karya sastra tersebut. Pemahaman
budaya yang melatari suatu karya sastra dapat digunakan sebagai alat untuk
memahami makna suatu karya melalui tanda-tanda budaya[5] dan meminimalisasi
kesalahpahaman pembacaan suatu karya, yaitu Mata Blater dengan latar
budaya Madura beserta tanda-tanda budaya yang hadir bersamanya (celurit, sapi
karapan, sapi sonok, ojung, barana, dan lain sebagainya dalam budaya Madura).
Selain itu, pemahaman budaya dapat digunakan untuk memperkaya wawasan bahwa
karya sastra yang lahir dari sebuah kekayaan budaya akan menuntun pembaca
memahami komunitas lain di luar diri guna menghindari retakan-retakan sosial (social
cracking) karena adanya perbedaan ideologi dalam hubungan bermasyarakat.
[1] Dalam “Literature
and Cultural Studies”, Literary Theory: A Very Short Introduction,
Jonathan Culler (2000: 43), Oxford University Press.
[2] Mengacu
pada E.B. Tylor, sebagai keseluruhan kompleks yang mencakup pengetahuan,
keyakinan, seni, moral, hukum, adat-istiadat, dan kapabilitas lainnya serta
kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat; dalam Primitive
Culture, NY: Harper and Row, 1958, vol 1, hlm. 1 dikutip dari John Rundell
& Stephen Mennell, op. cit., hlm. 12.
[3] Konsep
tentang narratee “si diceritai” merupakan konsep yang digunakan oleh
Gerald Prince, salah satu pengusung teori sastra berorientasi pembaca (resepsi
sastra). Prince menganggap bahwa ada berjenis-jenis orang yang kepadanya si
pencerita menyampaikan wacananya. Orang itu disebut sebagai orang yang
diceritai atau si diceritai. Hendaknya jangan dikacaukan antara narratee dengan
pembaca. Seorang pencerita dapat mengkhususkan si diceritai berdasarkan jenis
kelamin, kelas, ras, usia, dan seterusnya (lih. Selden, Raman, 1985. Panduan
Pembaca Teori Sastra Masa Kini [terjemahan Rachmad Djoko Pradopo], Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press).
[4] Faruk, Beyond
Imagination: Sastra Mutakhir dan Ideologi. 2001. Yogyakarta: Gama Media.
[5] Umberto
Eco, A Theory of Semiotics, 1979, Bloomington: Indiana University Press.
Catatan:
Tulisan ini
pernah disampaikan dalam acara Halte Sastra VIII di Galeri Surabaya Kompleks
Balai Pemuda Surabaya, 13 Maret 2010.
Ririe
Rengganis, pengajar di
Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas
Negeri Surabaya.
Sumber :
http://poetikaonline.com/
0 komentar:
Posting Komentar