Oleh Mahwi Air Tawar
Jika kalian bertandang ke
desa Legung, maka akan kalian jumpai sebentang tanah luas dengan lapisan pasir
putih. Tentu, bila suatu ketika kalian ingin rebahan atau tidur sepanjang siang
maupun malam, percayalah, tubuhmu tidak akan merasa gatal-gatal, dan
pasir-pasir tidak lekat di kulit. Jangan lupa, di sana pernah hidup sesosok
perempuan. Nyi Marfuah namanya. Hidupnya sederhana. Ia bekerja sebagai penjual
pasir putih. Tentulah, pasir itu dijual bukan untuk bahan campuran bangunan,
atau buat menanam pohon, bonsai, dan apa pun. Tidak. Pasir putih tidak untuk
itu semua. Namun, pasir putih yang lembut itu dijadikan sebagai alas tidur.
Kasur pasir, begitu Nyi Marfuah menyebutnya.
Dan memang, hanya di atas
kasur pasir putih itu pulalah warga desa Legung dapat tidur nyenyak. Konon,
bila seseorang tidur di atas kasur pasir putih itu, ia akan terhindar dari
segala macam penyakit. Bahkan, tak jarang kasur pasir putih itu selalu menjadi
dambaan setiap pengantin baru. Kata orang, “Malam pertama, pengantin baru harus
tidur di atas kasur pasir, agar pertengkaran tak selalu terjadi dalam berumah
tangga.” Ya, tak masuk akal memang. Tapi demikianlah. Sedari dulu orang-orang
mempercayai hal itu. Kata mereka: “Biar sifat-sifat benci, dengki, dan cemburu
tertanggalkan, menyatu dengan tanah.”
Jangan lupa pula, bila
pada saatnya kalian datang berkunjung, mampirlah meski sesaat ke tempat tinggal
Nyi Marfuah, yang telah ia tempati selama bertahun-tahun. Maka, di sana akan
kalian temui foto-foto pasir putih, yang tinggi serupa gunung. Foto-foto itu
terpampang tanpa bingkai. Nyi Marfuah mendapatkan foto-foto itu dari seseorang
yang dulunya pernah berkunjung. Gunung Pasir, Nyi Marfuah menyebutnya.
Tapi, ah, itu dulu. Kini,
Nyi Marfuah sudah tiada. Dan pasir yang serupa gunung itu pun sudah rata,
dijadikan jalan beraspal oleh pemerintah. Kini, setiap pagi, di tepi pantai di
sekitar tempat tinggal Nyi Marfuah, yang terlihat hanyalah bungkus-bungkus
makanan yang berserakan, botol-botol yang menumpuk – entah dari mana datangnya
sampah-sampah itu. Orang-orang sekitar tak peduli. Bahkan warga setempat turut
serta mencemari pantai dengan membuang tulang-tulang ikan di sembarang tempat.
***
Angin berhembus pelan
menelisik dahan dan serakan daun cemara. Gemerisik ranting. Embun menitik di
antara ujung-ujung cemara udang yang berjejer di pinggir pantai. Matahari
bersijingkat naik. Burung elang terbang, lalu menghilang.
Pagi yang tak lagi secerah
bertahun silam. Tapi jauh di sehampar pasir, ibu-ibu masih duduk menghadap laut
menantikan suami pulang. Ada pula yang rebahan di atas pasir putih.
Pada saat itu, seseorang
bergegas menghampiri Mattasan dan Madrusin.
“Nyi Marfuah meninggal,”
kata orang itu.
“Gara-gara sampah,” kata Madrusin
tak acuh.
“Salahnya, ngambil pasir
putih dekat kuburan,” gumam Mattasan.
“Apa hubungan pasir dekat
kuburan dengan kematiannya? Sebenarnya sampahlah yang membuat Nyi Madrusin
tidak betah dan sakit-sakitan,” kata orang itu.
“Termasuk paku yang
sengaja mpean buang dekat kuburan!” kata Madrusin.
“Jaga mulutmu!” sentak
orang itu.
Sontak perhatian
orang-orang berubah. Kabar perihal kematian Nyi Marfuah sesaat terlupakan.
Orang-orang didera tanya perihal adu mulut antara Mattasan dan Madrusin. Apa
hubungan kematian Nyi Marfuah dengan sampah dan paku? Bukannya kematian
seseorang sudah ada yang menentukan? Kenapa Mattasan dan Madrusin mempersoalkan
kematian Nyi Marfuah? Termasuk saya? Oh tidak! Saya tidak bermaksud
mempersoalkan kematiannya. Percayalah.
***
Sejak semakin banyak
sampah yang dihanyutkan ke pantai, dan juga tulang-tulang ikan yang berserakan
di sekitar pantai, Nyi Marfuah menjadi tak betah tinggal di gubuk yang selama
bertahun-tahun ia tinggali. Pasir putih halus, yang ia sebut “Kasur Pasir” itu,
kini memang teramat kotor. Bisa dibilang tak layak lagi untuk dijadikan tempat
tidur. Ia sendiri tak seberani dulu: menjual pasir yang ia ambil dari pantai.
Sebenarnya bukan hanya itu alasan ia tak betah dan menjadi sakit-sakitan.
Namun, ia merasa tak pantas lagi menjadikan pasir sebagai kasur untuk tidur.
Entahlah, pasir putih bagi Nyi Marfuah teramat keramat untuk dicemari dengan
sampah.
Konon, di pasir putih
setinggi gunung itu, sebelum diratakan dan dijadikan jalan beraspal, almarhum
suaminya mendapat wangsit dari leluhur agar pemerintah tak meratakan pasir
putih itu. Namun, karena pemerintah tetap memaksa, dan tak mempedulikan peringatan
suami Nyi Marfuah, pembangunan jalan beraspal tetap dilanjutkan. Setelah
pembangunan jalan selesai, tak lama kemudian suami Nyi Marfuah sakit-sakitan,
dan jalan raya yang belum berapa lama dibangun itu rusak. Dan banyak warga yang
merasa tak nyaman lagi tidur di kasur pasir.
***
Buih membuncah. Ombak
gemuruh. Madrusin diam terpaku sementara orang-orang di sekitarnya berbincang-bincang.
“Kematian yang sempurna.
Nyi Marfuah meninggalkan apa yang biasa dilakukan oleh kamu, Madrusin: meramal,
memantrai, dan memawang hujan. Kamu bebas sekarang.”
Madrusin masih tak peduli.
“Nyi Marfuah memang sudah
saatnya meninggal. Ia sudah tak berguna lagi. Seruannya tak jadi panutan lagi.”
Madrusin melemparkan pandang
ke gubuk tua tempat tinggal Nyi Marfuah selama bertahun-tahun.
“Sudah berbulan-bulan ia
mengalah dan tak lagi mengambil pasir di sekitar pantai. Kemudian dia pindah.
Dia ngambil pasir putih di permakaman. Tapi kalian pun membuang sampah,” kata
Madrusin akhirnya.
Pernyataan Madrusin sontak
membuat orang-orang mengerutkan dahi dan menatapnya penuh tanya. Ah, bukannya
selama ini Madrusin tak pernah memperhatikan Nyi Marfuah? Bahkan Madrusin
sering membentak wanita tua itu. Lalu, apakah yang menyebabkan dirinya begitu
antusias menanyakan segala macam perihal kematian Nyi Marfuah? Adakah karena
memang atas dasar kemanusian? Ataukah lantaran Madrusin merasa bersalah, sebab
selama ini Nyi Marfuah selalu ia bentak-bentak?
“Tak usah pura-pura, Kak,”
kata seseorang.
Madrusin tersentak. Tapi,
ia mencoba tak acuh dengan suara sumbang yang langsung dituju pada dirinya.
“Di mana Nyi Marfuah
meninggal?” tanya orang lain.
“Dekat kuburan.”
“Kematian yang mulia,”
desis Mattasan.
Madrusin melirik benci.
“Jenazah Nyi Marfuah
sekarang di kuburan,” kata seseorang.
“Siapa yang membawa ke
sana?” tanya Madrusin.
“Entah. Tapi belum
diapa-apakan,” kata orang lain.
“Dikafankan?” tanya
Madrusin lagi.
“Belum.”
Hening. Orang-orang
bergeming. Deru ombak terdengar pilu.
“Siapa yang kemarin
membeli pasir kepadanya?” tanya Madrusin.
“Sepanjang hari Nyi
Marfuah tak terlihat menjual pasir.”
“Ya, sudah dua hari ini ia
tak datang ke rumahku.”
“Betul, sudah dua hari ini
pintu tempat tinggal Nyi Marfuah tertutup.”
“Tak ada yang
menjenguknya?” tanya Madrusin.
Anak-anak ombak menepi,
lalu kembali ke laut sambil menghanyutkan sampah-sampah yang berserak. Jauh di tengah,
terlihat sampan beriring. Terlihat beberapa ekor elang terbang, tapi sebentar
kemudian burung-burung itu telah menghilang.
“Huh, kamu yang
keterlaluan!” kata Mattasan seraya pergi meninggalkan kerumunan.
***
Nyi Marfuah dikenal
sebagai penjual pasir. Bila pagi tiba, ia mengelilingi desa. Hanya berkeliling.
Kadang mampir ke salah satu rumah. Sekadar mampir. Minum kopi, lalu pergi lagi.
Orang-orang pun tak pernah segan memberikan apa yang bisa diberikan: makanan
atau daun sirih dan kapur untuk dikunyah. Itu kesukaannya memang. Nyi Marfuah
tidak perlu menawarkan “Siapa mau beli pasir?” Orang-orang tahu, biasanya ketika
seseorang membutuhkan pasir, maka orang itu langsung memanggil Nyi Marfuah dan
menyuruhnya untuk mengambil pasir. Jika dalam sehari tak ada yang memesan
pasir, Nyi Marfuah biasanya membantu orang-orang memanggang ikan atau melakukan
apa saja. Asal dirinya bisa makan.
Pasir jualan Nyi Marfuah
tentulah tak sembarangan pasir. Pasir yang dijualnya itu adalah pasir putih
yang bersih. Ketika pemerintah meratakan gunung pasir untuk dijadikan jalan
beraspal, Nyi Marfuah tak berani lagi mengambil pasir di sana. Di samping
memang rata, juga kotor, tiap hari sampah berserak di sekitar tempat itu.
Sementara untuk menegur agar orang tak membuang sampah di sembarang tempat, ia
bingung, karena ia memang tidak tahu siapa yang membuang sampah ke laut. Dan
untuk menegur orang-orang sekitar agar tak membuang tulang ikan di sekitar
pantai, Nyi Marfuah pun tak sampai hati. Lalu, apa yang bisa dilakukan
perempuan setua dirinya?
Tidak! Nyi Marfuah tetap
sebagaimana biasa. Ia mencari lokasi lain yang masih bersih dan pasirnya bisa
ia ambil. Satu-satunya lokasi adalah tanah lapang dekat permakaman. Meski
setiap hendak mengambil pasir di hatinya selalu dihinggapi segelayut tanya dan
rasa cemas.
Pasir jualan Nyi Marfuah
paling disukai. Kata sebagian warga yang membeli pasir jualannya, pasir Nyi
Marfuah lebih bersih dan lebih nyaman untuk dijadikan tempat tidur ketimbang
pasir jualan Misbah dan Mihmi. Tidak tahu sebabnya kenapa pasir Nyi Marfuah
banyak disukai, padahal para penjual pasir lainnya mengambil di tempat yang
sama. Akibatnya, tidak jarang Nyi Marfuah mendapat bayaran lebih.
Harga sebakul pasir
sebenarnya tak seberapa. Wajar bila Mihmi, Misbah, dan penjual pasir lainnya
harus mencari pekerjaan lain. Tapi, Nyi Marfuah? Ia tak peduli dengan bayaran
yang tak seberapa itu. Ia hanya merasa jika saja dirinya juga turut berhenti menjual
pasir, maka orang-orang tak akan nyenyak tidur atau istirahat.
Nyi Marfuah tidak hanya
dikenal sebagai penjual pasir. Orang-orang juga mengenal dirinya sebagai
pawang. Tak jarang, ketika ada perayaan perkawinan, Nyi Marfuah turut membantu.
Tentu bentuk bantuan yang ia berikan berbeda. Biasanya Nyi Marfuah turut
menjaga dengan memasang pagar gaib agar calon pengantin tak kerasukan makhluk
halus yang sengaja dikirim orang yang membenci pihak keluarga calon pengantin.
Ia juga turut menjaga agar pada saat berlangsungnya perkawinan tak turun hujan.
Ah! Nyi Marfuah. Ia pun begitu
periang. Anak-anak senang kepadanya. Ia juga pintar berdongeng. Tak heran,
ketika ia datang ke rumah orang yang memesan pasir, ia sering disambut gembira
oleh anak-anak. Bahkan, bukan hanya anak-anak yang senang kepadanya, para
ibu-bapak dari anak-anak itu pun menganggapnya sebagai bagian dari keluarga
sendiri.
***
“Kalian dengar. Dahulu, di
pinggir pantai dekat tempat tinggal saya, pasirnya tinggi sekali. Setinggi
bubungan rumah. Dulu banyak anak seusia kalian bermain seluduran, umpet-umpetan
dan banyak lagi. Nyai banyak lupa,” kata Nyi Marfuah.
“Terus yang disebut gunung
pasir itu di mana, Nyi?”
“Nah itu dia. pasir
setinggi bubungan itulah kemudian disebut gunung pasir. Kalian tahu tentang
kasur pasir?” Nyi Marfuah bersemangat.
“Tidak. Ceritakan tentang
kasur pasir itu, Nyi.”
“Kalian tahu kenapa di
kamar Embuk kalian diberi pasir?”
Anak-anak diam. Nyi
Marfuah mengunyah sirih. Tampak anak-anak bersemangat menunggu cerita tentang
kasur pasir.
“Pasir-pasir itu sangat
banyak manfaatnya. Selain bisa melemaskan otot-otot yang kaku, pasir itu juga
dapat menghilangkan segala macam penyakit dan berfungsi sebagai penangkal bala
sihir. Makanya di setiap kamar tidur pasti ada pasir. Itu yang disebut kasur
pasir.”
***
Siang menjelma menjadi
pentas lelehan keringat. Orang-orang hanya berdiam diri di rumah, atau
merebahkan tubuh di antara gubuk-gubuk berlantai pasir putih di sepanjang
pinggir pantai. Tak terkecuali Madrusin.
Buih membuncah ke tepian.
Sesekali deru mesin sampan terdengar melawan ombak. Angin memintal gelombang,
memainkan pasir putih hingga berhamburan. Madrusin, lelaki yang juga dikenal
sebagai tukang pawang dan dukun, hanya bergeming, tak turut menanggapi setiap
tanya yang ditujukan padanya oleh orang-orang yang tengah rebahan sambil
bercakap di atas kasur pasir itu. Ya, memang tak seperti biasanya. Kini ia
hanya berdiam diri.
“Angin utara datang.
Biasanya sudah musim ikan. Tapi, sudah sepekan orang-orang nelayan tak dapat
ikan. Aneh,” gumam Madrusin.
“Ya, mungkin angin utara
akan datang lebih awal ketimbang angin tenggara. Tapi, terlalu cepat. Sementara
musim ikan turut tertunda. Tanda apakah ini, Kak?”
Madrusin tak menanggapi.
Ia, Madrusin itu, yang sehari-harinya melayani para juragan sampan yang meminta
air kembang kepadanya agar sampan mereka cepat mendapat ikan, setidaknya
selamat sepanjang bekerja, begitu pintar membaca tanda-tanda alam. Biasanya tanpa
ditanya ia akan menjelaskan segala hal. Tapi, kini? Sedari tadi ia hanya diam.
Lebih aneh lagi, tak semestinya pada saat siang-siang seperti ini Madrusin ada
di pinggir pantai. Mestinya ia di rumah melayani para juragan sampan yang
hendak minta air kembang.
“Hei, pulang! Juragan
sampan menunggu. Mau minta air kembang,” tegur Mattasan.
Madrusin melirik pada
sebuah gubuk yang pintunya tertutup rapat. Sesaat ia mengulum senyum. Sinis.
Ranting cemara udang
jatuh.
Orang-orang pun mengikuti
lirikannya sembari mendesis: “Aneh.”
“Hei, apa yang mpean
pikirkan?”
“Tidak ada,” jawab
Madrusin.
“Pulanglah, banyak juragan
sampan menunggu.”
Tak Acuh. Madrusin justru
beranjak, pergi menuju gubuk tempat tinggal Nyi Marfuah.
“Aneh.”
Sesampainya di gubuk
tempat tinggal Nyi Marfuah, Madrusin memutari gubuk itu hingga tiga kali.
“Pasti iri,” bisik
Mattasan dalam hati. Bukannya selama ini Madrusin memang jarang diundang orang
yang tengah merayakan perkawinan? Mereka lebih percaya kepada Nyi Marfuah.
***
Bagaimana mungkin
perempuan setua dan sebaik Nyi Marfuah mati dengan cara tidak wajar? Kematian
misterius? Adakah ia kena bala atas pekerjaannya lantaran menjual pasir putih
yang ia ambil dari lokasi permakaman? Tidak. Kalau pun demikian, kenapa
sebagian warga yang belakangan semakin bebas membuang sampah dekat permakaman
tak turut raib segera?
Mendengar kabar
kematiannya, penduduk desa Legung terhenyak iba. Bagaimana tidak, Nyi Marfuah
yang sudah bertahun-tahun jadi bagian dari keluarga penduduk setempat, mati
dengan cara mengenaskan di lokasi permakaman tempat biasa ia mengambil pasir
putih untuk dijual, dengan perut menggelembung besar. Kalaupun kematiannya
lantaran tertusuk paku di telapak kaki kanannya, kenapa perutnya mesti menggelembung?
Penyakit macam apakah ini?
“Siapakah punya hati
sejahat itu?”
“Yang jahat kita! Buang
sampah sembarangan,”
“Saya yakin itu bukan
lantaran karena tertusuk paku keparat itu. Tapi, karena sihir.”
“Tapi, Nyi Marfuah tak
pernah punya salah kepada siapa pun, saya kira.”
“Jahanam!” ketus Mattasan.
“Siapa lagi kalau bukan orang yang tidak senang kepada Nyi Marfuah.”
Terang orang-orang yang
mendengar tuduhan Mattasan terperangah. Bagaimana tidak? Bukankah selama ini
Nyi Marfuah memang tak pernah berbuat salah kepada siapa pun? Ia selalu
berusaha untuk tidak menyakiti atau menyinggung perasaan orang lain? Bahkan ia
tak pernah menuntut bayaran banyak atas pekerjaannya. Pun ia tak meminta
macam-macam ketika menangani perayaan perkawinan.
“Itu dia!” seru Mattasan.
“Maksudmu?”
“Dikira yang bisa menjaga
perkawinan dari hal-hal yang tak dinginkan oleh pihak tuan rumah hanya Nyi
Marfuah? Pawang hujan hanya dia?” imbuh Mattasan.
“Tapi kenyataannya Nyi
Marfuah lebih terjamin ketimbang Madrusin.”
“Lagian Nyi Marfuah tak
minta bayaran. Ia bekerja dengan ikhlas. Soal bayaran terserah orang yang punya
hajat dan kehendak hati seseorang.”
“Itu dia.” ujar Mattasan.
“Itu dia? Apa maksudmu?”
“Paling tidak, ketika Nyi
Marfuah tak meminta macam-macam, kan orang-orang secara tidak langsung akan
senang kepadanya. Sedang pawang lainnya tak diacuhkan. Termasuk Madrusin,”
Mattasan semakin bersemangat.
“Apa hubungannya? Niat Nyi
Marfuah kan baik?”
“Tak semua kebaikan itu
berdampak baik. Buktinya?” ujar Mattasan.
***
Gubuk tua tempat tinggal
Nyi Marfuah dipenuhi oleh warga desa Legung. Isak tangis sebagian warga
terdengar. Angin tak putus-putus memintal gelombang. Gemuruh ombak pilu. Buih
membuncah memecah senyap. Malam pun diarak kelam. Bau sampah menyengat.
Sesekali terdengar kelepak burung hantu dari balik rimbunan cemara udang. Asap
dupa serupa orang beriring, mengiringi kepergian Nyi Marfuah.
Perut perempuan tua itu
tak kunjung susut, tetap menggelembung
seperti mengandung sesuatu, yang mengganjal di balik ususnya. Di samping labang,
Mattasan seperti tak kuasa menahan amarah.
“Pasti ini kerjaan
Madrusin!” bisiknya. “Apakah karena tertusuk paku berkarat saja bisa
menyebabkan perut membengkak?”
Mattasan teramat bimbang.
Kalau ia harus menuduh Madrusin, ia tak mempunyai bukti kuat.
“Tapi untuk apa kemarin
Madrusin mengelilingi gubuk ini hingga tiga kali?” timbangnya lagi.
Di atas bubungan terdengar
kepak burung hantu. Bunyi itu terus terdengar hingga Mattasan keluar dan mengamati
bubungan. Dan tiba-tiba saja, terlihat burung itu memutari gubuk tua hingga
tiga kali.
Mattasan termangu. Burung
hantu mengelilingi gubuk sebentar, kemudian terbang menghilang ke balik
rerimbunan. Mattasan beranjak masuk, menatap tajam tubuh Nyi Marfuah yang masih
terbaring kaku di atas kasur pasir.
Jakarta, Mei 2006 – Jogja, April, 2007
Keterangan
Labang : Pintu
Mpean : Kependekan dari
“sampeyan” (Anda)
Embuk :
Ibu
0 komentar:
Posting Komentar