Oleh Mahwi Air Tawar
Mula-mula suara dentam besi lalu suara gumam
seseorang dari balik bilik samping rumah. Segaris cahaya senja bergelayut
seperti jemari memungut bayangan kecil kudung pintu yang sedikit miring. Dan
sebentar bayangan itu kabur tak tertangkap pandang. Sekarang kembali dentam
disertai gumam Madrusin, samar terdengar sesamar suara lengking seorang petani
dari atas gubuk kecil di pematang sawah mengusir burung pipit yang setiap saat
datang mematuk bulir-bulir padi yang sudah menguning. Tetapi tak lama
berselang, dentam besi itu, gumam itu mendadak serupa suara petir. Kemudian
dari balik bilik itu berlesatan pernik-pernik cahaya merah, berhamburan hingga
membuat seseorang yang kebetulan lewat kalut ketakutan, lari terbirit-birit
sebelum akhirnya kembali mendatangi rumah Madrusin dengan membawa banyak orang,
datang saling beriring seperti sebarisan semut. Kadang berdesakan saling
mendahului, meski tak sedikit di antaranya diam-diam mengurungkan niatnya, lalu
berbelok ke arah jalan lain.
“Celaka. Siapa itu orang membuat gara-gara?”
seseorang mendesis bengis, menoleh ke belakang sebelum akhirnya berjalan lekas.
Demikianlah. Sebuah isyarat hinggap dalam benak
Madrusin, lelaki bertubuh kekar dengan warna kulit hitam legam. Sorot matanya
tajam setajam ujung celurit siap menghunjam, mengiris-ngiris tubuh seseorang
yang lancang membangkang terhadapnya sebagai sesosok tokoh yang harus ditakuti
dan dihormati.
Bukan. Bukan. Ya bukan tanpa sebab ia bergumam
pada saat ia memandai besi. Namun, lebih dikarenakan suara aneh yang tiba-tiba
membuatnya tersentak, ketika ia mendongak, seekor kucing hitam melintas tiga
kali persis di depannya. Lalu sesaat berselang, suara pelepah pohon jatuh
menerpa bubungan rumahnya serta ngiong kucing, ketika itulah Madrusin segera
bertindak sebelum semuanya terlambat.
Lekas Madrusin beranjak dari tempat duduknya,
memasang celana komprang, setelah mengikat kuat, ia selipkan sebutir akik
berwarna cokelat ke dalam kopiyah hitam yang ukuran tingginya sejengkal tangan
dengan warna nyaris kusut. Lalu seusai menebar pandang ke sekeliling ruangan
sempit penuh asap itu, Madrusin menghentakkan kaki tiga kali di ambang pintu
yang membingkai senja. Cah. Mulut Madrusin komat-kamit merapal mantra.
Lihatlah Madrusin semakin bertambah berang dan gagah, sepasang matanya memerah
menahan amarah. Orang-orang yang berkumpul di halaman rumahnya terkesiap,
memelototinya diam-diam. Menyimpan tanya dan praduga.
“Dengar suara itu, Jib!”
Dengan sigap Tanjib yang semula berada di antara
kerumunan orang-orang segera tanggap dan mendekat.
“Suara perempuan.”
Orang-orang dengan raut wajah pias bertukar
pandang. Bahkan satu-dua-tiga orang saling melirik penuh selidik, dalam diam
antara mereka saling berbisik. Barangkali mencoba menebak sesuatu yang terasa
janggal saat memanggil Tanjib. Bagaimana tidak. Bukannya setiap akan ada
kericuhan atau sesuatu yang berkenaan dengan keributan, Madrusinlah yang lebih
tahu?
“Suara Sati, Kak,” bisik Tanjib. Orang-orang
melongo tak percaya.
“Jangan sebut nama itu!” dua kuping Madrusin
merah. Sepasang matanya membelalak seperti mau muntah. Gemeretak giginya
menambah suasana orang-orang di halaman bimbang antara tegang dan bingung.
Sementara pandangan mata Madrusin jauh menerawang ke pematang. Gegas langkah
Tanjib yang semakin menjauh.
“Segera kembali. Beri aku kepastian,” teriaknya.
“Kenapa ia tak berangkat sendiri?” seseorang
berbisik.
“Sssst. Matilah baik-baik!” seseorang
wajahnya pias.
“Tanjib benar,” seorang lainnya spontan bergumam
dan segera menutup mulut dengan telapak tangannya.
“Maksudmu?”
“Suara Sati.”
“Ya sudah beberapa hari ini Sati sering
kesurupan. Kabarnya dipaksa.”
“Hus! Biasa jaga mulut ndak?”
Gugusan awan bergerak lambat, desir angin
menggiring bau celatong sapi dari dalam kandang. Rerumputan seperti malas
berayun. Jauh di pekarangan, cahaya senja dengan merah saga menggantung di
antara ranting kering. Barangkali tak lama lagi ranting itu patah dan jatuh.
Sementara bayang-bayang orang semakin memanjang. Di antara suasana yang
tiba-tiba hening, seekor kucing berwarna hitam melintas di antara kerumunan
hingga membuat salah seorang tersentak kaget dan berteriak. Celeng!
Sontak ketika mendengar teriakan latah, Madrusin melirik, tapi seseorang segera
menunduk.
“Tidak mungkin. Lengkingan itu…” diam-diam seseorang
menghindari tatapan Madrusin.
“Sati maksudmu?” bisik. Hening. Dari bubungan
rumah Madrusin tampak tiga ekor burung gagak terbang berputar-putar. Segaris
cahaya senja rebah menerpa jendela.
“Ya, pasti. Sati…”
“Ssstt. Biasa diam tidak?!”
“Nyatanya sampai sekarang Sati tak dapat suami.”
“Bukannya tak dapat suami. Tapi, Sati memang
tidak suka pada Indrajid.”
“Indrajid?”
“Ya, Indrajid, calon suami Sati.”
“Oh,” seperti sudah mengerti seseorang berseru.
“Jadi?”
“Sati!”
“Huh!”
Ya, tapi kenapa ia masih berdiri di sini? Atau
mungkin sengaja Madrusin tak datang lebih disebabkan tidak ingin mengulang
peristiwa bertahun silam ketika dirinya dikatakan seorang bajingan oleh orang
tua Sati?
* * *
“Bagaimana?”
“Orang-orang masih berkumpul di sana,” Tanjib
mendekat dan berbisik.
“Sati?” Madrusin melirik penuh selidik.
“Tengik!” Madrusin mengumpat.
Ada yang terus menggelitik dalam benak lelaki
yang dikenal antara sebagai pendekar dan bajingan itu. Madrusin satu-satunya
lelaki yang ditakuti oleh penduduk terutama oleh kalangan bajingan lainnya.
Hah! Ia bukan hanya ditakuti oleh kalangan warga biasa, tapi seorang kiai pun!
Tidak. Mungkin kiai bukan disebabkan takut, tapi lebih menginginkan agar
Madrusin dan anak buahnya tak bikin onar. Bukan lantaran ia berbadan kekar
dengan urat menyembul. Bukan pula karena ia banyak mempunyai ilmu-ilmu
kesaktian, kekebalan sebagaimana Haji Alawi yang sudah berkali-kali naik haji.
Disegani. Madrusin tidak lain dikarenakan ia dikenal sebagai seorang blater.
“Sati?”
“Ya, Sati.”
Sejenak Madrusin masuk ke dalam bilik tempat ia
memandai besi. Ketika ia membuka pintu, bayangan tubuhnya rebah terterpa cahaya
senja yang menyelinap masuk.
***
“Sati!” sembari membuka bungkusan kecil berisi
dupa ia berucap pasti. Dari sepasang bibirnya yang hitam terkulum senyum sambil
membayangkan sesosok tubuh terkapar dengan darah tercecer. Dendam yang lama
bersemayam sejak beberapa bulan silam, setelah tahu orang tua Sati tak
mengizinkan dirinya meminangnya. “Harga diri tak bisa dijual beli. Mesti
dijunjung tinggi!” gumamnya.
Memang siapakah tidak kenal dengan perempuan
semampai langsat senantiasa mengundang hasrat untuk selalu dipandang. Ya Sati,
lentik matanya tajam, lengkung alisnya selaksa celurit hingga seseorang yang
bersitatap pandang terpukau kagum.
Namun, siapa berani mengganggunya. Toh
meski Sati sudah sah menjadi calon istri Indrajid, orang-orang tahu diam-diam
Sati masih menjalin hubungan dengan Madrusin. Tapi kepalang, nasib tak bisa
ditimang. Setelah hubungan keduanya diketahui orang tua Sati, Madrusin tak lagi
diizinkan berkunjung, bahkan bertemu. Dan yang lebih menyakitkan, ketika orang
tua Sati mengusirnya lantaran Madrusin keturunan seorang dukun, seorang tokoh blater
yang mempunyai banyak ilmu kesaktian.
“Hanya darah akan membuat bapakmu sadar, Sati.”
Sati meringis. Terasa tubuhnya seperti diiris.
Ingin ia memberontak kepada bapak juga ibunya. Dalam hati, Sati turut
membenarkan pernyataan Madrusin bahwa hanya dengan kekerasan sikap bapaknya
akan sedikit lebih bijak. Tetapi ia juga tidak terima kalau Madrusin, lelaki
yang ia cintai, harus membunuh orang tuanya.
“Mereka orang tuaku.”
“Kamu tak mau jadi istriku?” geram Madrusin
bergumam. “Akan celaka.” Demikianlah suatu waktu saat keduanya bertemu di
sebuah pematang menjelang petang.
***
Lebih baik mati berkalang tanah daripada
menanggung hinaan orang. Harga diri harus dijunjung tinggi. Begitu selalu
Madrusin mengawali pembicaraan di setiap pertemuan. Kalau benar kabar Sati
menangis diancam oleh Indrajid dan dipaksa orang tuanya untuk minum air kembang
setiap saat. Maka, tak pelak lagi, tiba saatnya bagi Madrusin memperlihatkan
keperkasaannya sebagai lelaki. Ia menganggap Indrajid dan orang tua Sati
sendiri melampaui batas. Maka, bergeraklah.
“Keparat! Bajingan tengik!” umpat Madrusin
menatap nanap kain panjang berwarna merah meliliti celurit yang menggantung di
balik pintu. Kepada Tanjib ia meminta sabut kelapa, dupa, dan air kembang.
Hingga tak lama berselang, asap dari sabut kelapa itu mengepul, bau kemenyan
menyeruak memenuhi ruangan yang hening. Sebelum tangannya meraih celurit, ia
kepalkan tangan setelah ditelungkupkan pada sabut kelapa yang mengepulkan asap
dan bau kemenyan. Tampak dari sela jemarinya asap dupa seakan saling berebut
dengan sangat hati-hati, dan tangan yang masih dipenuhi asap, diambilnya
celurit itu lalu diusapnya, dielus sebelum akhirnya ia membuka sarung celurit.
Sejenak ia berdiri di balik pintu membuang
pandang ke sudut-sudut ruangan. Lalu bergegas menapaki jalan setapak.
Orang-orang yang melihatnya hanya mengernyitkan dahi. Tentu mereka tidak perlu
bertanya lagi hendak ke mana Madrusin. Masing-masing hanya bisa berharap,
berdoa untuk keselamatan Madrusin. Di simpang jalan menuju rumah Sati. Cah.
Madrusin tak perlu menoleh. Dengan wajah bengis ia mendesis pada dirinya
sendiri. “Sati bersiaplah! Aku nikahi kamu.” Langkahnya derap kaki sepadan
derap langkah sapi kerapan. Rerimbun daun tak berayun. Ilalang seperti
menunduk. Tiba di ambang pintu ia pandangi sekitar. Lalu meludah ke kanan dan
kiri. Dari dalam ruangan terdengar percakapan dua orang, sesekali suara
perempuan berisak senik. Cah. Gemeretak gigi Madrusin tertahan saat
mendengar isak senik Sati.
Tanpa mengetuk pintu, tanpa berucap salam
terlebih dahulu, Madrusin masuk. Mendadak, saat Madrusin mengeluarkan celurit
dari balik punggungnya, Sati menjerit menyuruh ayahnya untuk menghindar. Sati
beranjak ingin mencegat Madrusin, tapi tangan bapaknya dari belakang
menyeretnya keras hingga Sati jatuh terhuyung. Saat itulah Madrusin segera
membuka sarung celurit lalu menghunuskannya, tetapi Muksin segera menghindar,
meloncat ke atas kursi dengan langkah zig zag. Madrusin semakin kalap, kembali
ia hunuskan celuritnya, tapi tiba-tiba dari belakang tangan Indrajid menyelinap
menangkap pergelangan tangan kanan Madrusin hingga sulit bergerak. Madrusin
mencoba memberontak. Muksin tak mau kalah. Menggertak hendak merebut sebilah
celurit. Kini Madrusin memasang kuda-kuda, sepasang matanya nanar, urat-uratnya
menyembul seperti akan keluar. Ketika ia mendengar sebuah suara sesuatu
bergerak dari belakang, dengan refleks Madrusin beranjak mengambil posisi.
Indrajid menyerang. Kaki Madrusin lekas menendang perut Indrajid hingga jatuh
terpelanting ke belakang. Pada saat itulah, dari samping kiri Muksin segera
mendekap Madrusin, Madrusin tak mau menyerah, ia terus memberontak hingga
celurit itu terpelanting.
Persis! Celurit itu menancap pada bagian kanan
kelopak mata Sati.
Yogyakarta, 2007- 2008
Catatan: Blater :
adalah ksatria lokal Madura
0 komentar:
Posting Komentar