Oleh Muhajir Arrosyid
Membaca cerpen Bajing karya Mahwi Air Tawar yang dimuat di koran Kompas edisi Minggu, 18 Agustus 2013 saya teringat dengan sebuah cerpen karya Muchtar Lubis yang berjudul Bromocorah. Setiap daerah rupanya memiliki jagoan-jagoan penjaga kampung. Ia menjaga kampung dari para pencoleng. Jika dalam Bromocorah menceritakan tentang budaya gunung di Sunda maka Cerpen Bajing bercerita daerah pesisir di Madura.
Berikut potongan dari cerpen Bajing: Sudah
menjadi kesepakatan tak tertulis antara para bajing bahwa, setiap
bajing harus saling menjaga desa tempat tinggal masing-masing, dan aib
bagi suatu desa yang memiliki warga sebagai bajing namun tetap
kecolongan atau, ada warga mengeluh karena kehilangan barang.
Sedangkan berikut ini adalah potongan dari cerpen Bromocorah: Ayahnya
selalu mengajarnya agar dia melindungi kampung mereka. Jangan mengambil
sesuatu dari rakyat kampung sendiri dan kampung-kampung yang
berdekatan, karena kampung mereka dan kampung-kampung berdekatan adalah
tempat mereka hidup, dan tempat mereka berlindung. Ambillah dari
kampung-kampung yang lebih jauh.
Saya ingin mencoba memilah perbedaan cerpen Bajing dengan cerpen Bromocorah.
Pertama hubungan tokoh utama yang berprofesi sebagai preman (bromocorah
dan bajing) dengan orang tuanya. Kedua, hubungan tokoh dengan istri.
Ketiga, hubungan tokoh dengan anak. Keempat, capaian kesadaran tokoh.
Hubungan tokoh dengan orang tua
Hubungan tokoh bromocorah dalam cerpen Bromocorah dengan
bapaknya sangat baik. Bahkan ilmu silat yang dikuasai olehnya adalah
ajaran dari bapaknya yang juga berprofesi sebagai bromocorah. Sang tokoh
diberitahu oleh bapaknya bagaimana tata krama menjadi bromocorah yang
baik seperti tidak mengambil barang dari tetangga sekampung karena
kampung adalah tempat berlindung.
Sedangkan hubungan antara bajing dalam cerpen Bajing
dengan bapaknya bukanlah hubungan yang baik. Setidaknya itu terlihat
saat bajing mencari anaknya di langgar milik bapaknya. Digambarkan di
situ bajing bertanya kepada bapaknya dengan nada yang tinggi. Di
masyarakat bapak bajing dikenal sebagai guru ngaji dan memiliki langgar
tempat orang kampung melaksanakan sholat. Sebuah kepribadian yang
kontras antara bapak yang seorang guru mengaji dan anak yang seorang
preman.
Hubungan tokoh dengan istri
Dialog pertengkaran bajing
dengan istrinya mendominasi cerpen karya Mahwi Air Tawar ini. Bajing
kesal mencari anaknya yang telah mencuri di kampung lain. Bajing menuduh
istrinya menyembunykan anaknya. Semalaman istri bajing menangis karena
dianiaya oleh bajing. Sedangkan para tetangga dan orang tua bajing yang
guru ngaji tidak berani berbuat banyak. Mereka hanya melihat dari
kejahuan.
Berbeda dengan bajing,
Bromocorah adalah tokoh yang sayang dengan keluarga. Meskipun ia keras
terhadap musuh tetapi dia sayang dengan keluarga. Menjelang akhir cerpen
tersebut digambarkan suasana akrab di meja makan antara bromocorah
bersama sang istri.
Hubungan tokoh dengan anak
Anak menjadi titik masalah
dalam dua cerpen ini. Bajing malu karena anaknya kedapatan mencuri di
kampung tetangga. Ia malu dengan para bajing lainnya. Di sini tampak
sikap ambigu tokoh bajing. Di satu sisi dia malu anaknya mencuri, tapi
dia juga yang mengajari. Apa yang dilakukan oleh anaknya adalah apa yang
dilakukannya pula. Ia adalah bajing yang tidak ingin anaknya menjadi
bajing. Berkali-kali dalam teks cerpen menggambarkan kegamangan bajing.
Ia tidak percaya bahwa anaknya yang baru belasan tahun sudah berani
mencuri. Bajing terlihat yang terlihat bringas dan mengungkapkan akan
membunuh anaknya jika ketemu, yang mengharapkan anaknya mati dalam
kandungan itu sebenarnya khawatir. Setidaknya hal tersebut terungkap
dalam kalimat di paragraf terakhir: “Tak usah khawatirkan Tarebung!”
Nasehat bajing kepada istrinya ini malah menunjukkan kekhawatiran
bajing.
Capaian kesadaran tokoh
Karena memikirkan masa
depan anak dan keluarga, Bromocorah berniat menghentikan tradisi turun
temurun. Ia mewarisi pekerjaan itu dari orang tuanya, dan orang tuanya
dari kakeknya. Kali ini Bromocorah gamang apakah akan melanjutkan
tradisi bromocorah kepada anaknya atau menghentikannya. Di suatu
pertempuran dengan penantang yang masih belia, ia mengurungkan niat
untuk membunuh karena teringat anaknya. Ia tidak ingin anaknya mati
dalam pertarungan seperti itu juga.
Sampai usia anaknya semakin besar ia ragu
untuk mengajarkan ilmu silat kepada anaknya tersebut. Pada suatu saat
pemerintah desa mengumumkan program transmigrasi dan bromocorah
mendaftarkan diri. Dalam cerpen Bromocorah, sang tokoh telah mencapai
kesadaran tertentu dan berusaha melakukan sesuatu untuk perubahan
hidupnya dan keluarganya.
Begitulah budaya preman.
Terlihat baik oleh para tetangga, ramah, dan suka membantu. Saat ada
kasus penangkapan pelaku perampokan, teorisme, dan korupsi, para
wartawan sering bertanya kepada tetangga pelaku. “Bagaimana keseharian
pelaku?” Sangat sering kita dengar jawaban begini: “Dia orang yang baik,
tidak punya masalah di kampung, rutin ikut kerja bakti, dan sering
menyumbang masjid.” Karena mereka sadar, kampung adalah tempat
berlindung.
Pemerintah dan masyarakat
seringkali tidak menerima niat baik seorang pencoleng untuk berubah.
Seperti bromocorah yang berniat memperbaiki diri dengan ikut program
transmigrasi. Pemerintah menolaknya dan tidak mengikut sertakannya dalam
program transmigrasi. Apa akibatnya jika maksud ditolak? Bromocorah
akhirnya mengajari anaknya silat. Apa boleh buat. (muhajir arrosyid).
diambil dari blog kampungide: muhajir arrosyid
diambil dari blog kampungide: muhajir arrosyid
0 komentar:
Posting Komentar