Home » » Resensi Bunga-Bunga Layang, Abdul Hadi

Resensi Bunga-Bunga Layang, Abdul Hadi


 Judul Buku  : Bunga-Bunga Layang.
Penulis       : Tim FLP Pamekasan
Penerbit     :     Halaman Moeka Publishing
Tebal          : 115 Halaman
Perkembangan sastra di daerah Madura nyaris tenggelam selama satu dekade ini. Gairah kepenulisan seolah timbul-tenggelam dalam ranah sastra, dan amat jarang didapatkan para sastrawan yang gigih dari pulau garam tersebut yang bersaing dalam perkembangan sastra kontemporer ini ­--khususnya cerpen. Meskipun begitu, tetaplah ada segelintir nama yang menjadi perhatian penikmat sastra Indonesia, namun nama itu belumlah cukup banyak namun cukup memberi daya tarik tersendiri semisal, D. Zawawi Imran, Faizi Kaelan, Jamal D. Rahman, Mahwi Air Tawar, dan lain-lain.
Dari beberapa nama tersebut, saya menggaris bawahi nama terakhir yaitu Mahwi Air Tawar, yang dalam sebagian besar tulisannya --terutama cerpen--, mencoba mengekspos lokalitas Madura lewat karya-karyanya. Sehingga pada awal tahun 2010, terbit kumpulan cerpennya yang bertajuk Mata Blater, yang menghimpun cerpen-cerpen berbau lokal dan budaya Madura.


Dan hal itulah yang saya dapatkan ketika saya menggauli sebagian cerpen dari cerpen-cerpen yang tersusun dalam antologi Bunga-Bunga Layang (BBL) ini. Beberapa cerpen itu seolah menyediakan sebuah pintu masuk untuk menengok dinamika sosio-kultural yang ada di pulau Madura tersebut. Cerpen-cerpen itu mencoba menukil atau bahkan membahas lokalitas, memberontak dari adat, dan ada pula yang mencoba meluruskan pemahaman yang menurut pandangan orang di luar Madura tampak liar dari kejauhan. Penulis-penulis muda ini mencoba menyisipkan ihwal dari kultur Madura dengan simbol-simbol atau pun kode-kode yang serupa namun tak sama.
Dalam cerpen Dada'an Praban, yang mengisahkan seorang perempuan yang memberontak dari adat. Ia berusaha menyelamatkan temannya yang akan dijadikan sesajen perawan dan akan dibakar dalam sebuah acara adat, yang diperpercaya akan menjadikan desa tersebut makmur. Namun malangnya, perempuan yang menyelamatkan inilah yang menjadi gantinya dan harus dibakar karena ia ketahuan melarikan temannya. Lagi, cerpen Akulah Penjahat Cinta; tentang seorang perempuan yang dijanjikan akan menjadi TKW (Tenaga Kerja Wanita), celakanya ia ditipu dan dipaksa bekerja menjadi PSK (Pekerja Seks Komersial). Tema ini sejalan dengan kehidupan orang Madura yang banyak menyerahkan nasibnya dengan menjadi pekerja di luar negeri.
Kemudian dalam cerpen Celurit di Hati, yang mengisahkan tentang seorang pemuda yang dijodohkan oleh ayahnya. Di dalam cerpen ini, sedikit disinggung pribahasa Madura: lebbi begus pote mata, katembang pote tolang (lebih bagus putih mata daripada putih tulang) yang identik dengan argumen orang-orang Madura yang membenarkan perihal Carok. Dan puncak asumsi saya ada pada cerpen Penganten Carok, yang seolah mengamini istilah tersebut dengan artian: menjaga harga diri lebih baik daripada harus ditukar dengan harta, cerpen itu mengisahkan tentang keluarga yang nyaris habis karena dibantai carok oleh keluarga lain yang akhirnya menyisakan seorang ayah yang telah berlengan buntung dan seorang bocah berusia tiga tahun. Bocah itulah yang dilatih keras dengan tujuan membalaskan dendam harga diri keluarga mereka yang diinjak-injak oleh keluarga lain.
Selain itu, enam dari 11 cerpen tersebut juga menghubungkan benang merah. Di balik semua itu juga disisipkan ihwal purba: kemiskinan dan seksualitas. Seperti dalam cerpen Elegi Lalbatti, Sumanti, Nyanyian Alin Tuna, Pengantar Pulang Pelangi Separuh, Bunga-Bunga Layang, dan Akulah Penjahat Cinta.
Dalam cerpen Nyanyian Alin Tuna, misalnya; tentang seorang gadis cacat mentalnya yang nyaris saban pagi disenggamai oleh ayahnya sendiri. Kemudian dalam cerpen yang judulnya dijadikan tajuk dalam buku tersebut adalah puncaknya: Bunga-Bunga Layang, yang mengisahkan seorang perempuan yang nyaris tertimpa pelecehan seksual dan merasa trauma dengan lelaki. Dan pada akhirnya  perempuan itu mencintai sesama jenisnya dan terusir dari rumah karena itu. Rupanya ihwal yang notabenenya masih tabu di kampung dan hanya lazim ditemui di kota-kota besar, ternyata sudah merangsek hingga ke kampung-kampung.
Semua cerpen itu nyaris dibungkus dengan ciri cerpen realis yang memaparkan sesuatu secara runtut dan sebagaimana kenyataannya. Terhadap BBL, mungkin juga dibahas lewat kajian feminisme, karena banyak ihwal diskriminasi gender di dalamnya (virginitas dan hak-hak sosial ekonomi perempuan), melalui perspektif lain inilah kita bisa mengetahui dinamika sosio-kultural dibalik teks cerpen yang berlatar suatu daerah.
Harus diakui tim FLP daerah manapun itu --khususnya cabang  Pamekasan, banyak memberi sumbangsih bagi bangkitnya kesadaran sastra para kaum remaja indonesia. Tampak dari organisasinya yang terbesar se-Indonesia dan banyaknya menerbitkan buku-buku sastra dan remaja. Terlepas dari bayang-bayang besar itu, antologi cerpen Bunga-Bunga Layang ini telah ikut andil memperkaya khazanah literer cerpen Indonesia.
Abdul Hadi, Camplong, 28 Desember 2011
Share this article :

0 komentar:

 
Support : Jualan Buku Sastra | Jualan Buku Seni dan Budaya |
Copyright © 2013. areamahwiairtawar - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger