Home » » Geliat Estetika Dalam Cerpen -Cerpen Karya Cerpenis Terikini

Geliat Estetika Dalam Cerpen -Cerpen Karya Cerpenis Terikini

Oleh Nenden Lilis A.
1

penulis adalah orang
yang mempertaruhkan hidup
bagi setiap kata terbaik
yang bisa dicapainya
(Seno Gumira Ajidarma)

Apa yang tersisa dari dunia kini untuk para pengarang dan cerpenis? Dulu,
pujangga Surakarta dari abad 19, Ranggawarsita, menyebut zaman tempatnya hidup
zaman edan. Lalu, kita namai apa era kita berada kini? Kita melihat, betapa gemuruhnya
zaman kini: teknologi semakin membabi buta menjajah, merasuki kehidupan, dan
mengasingkan manusia dari sifat-sifat humanisnya; macam-macam ideologi kian keras
berbenturan, bertabrakan, dan berebut menanamkan kekuatannya; materialisme dan
kapitalisme semakin mencengkeram. Akibat daya cengkeramnya manusia banyak
melupakan spiritualitas dan moralitas; gonjang-ganjing ekonomi-politik-budaya terjadi di
mana-mana, ditambah dahsyatnya ledakan revolusi yang terjadi dalam bidang
komunikasi.
Manusia memang telah melalui berbagai tahap peradaban. Dalam kaitannya
dengan sistem komunikasi, Alvin Toffler, melihat telah terjadi tiga gelombang dalam
peradaban manusia, yaitu peradaban gelombang I (800 SM-1700 SM), yakni peradaban
yang merupakan era komunikasi non-media massa; gelombang II (1700-1970) yang
sering disebut era media massa; dan sekarang (1970-2000 dan seterusnya) yang
merupakan era cyberspace.
Ya. Abad media, abad komunikasi, atau abad globalisasi informasi, itulah sebutan
yang diberikan kepada era yang kini tengah melanda dunia. Bagaimana tidak, manusia
saat ini diserbu sepanjang waktu oleh berita, hiburan, informasi, dan banyak hal lainnya
yang mengalir dari berbagai media (cetak maupun elektronik). Manusia pun dengan
kemajuan era digital yang oleh penulis fiksi ilmiah William Gibson dinamakan

2
cyberspace, merasakan semakin tidak adanya batas ruang antar wilayah di muka bumi.
Bumi yang besar, bulat, dan sangat luas ini, kini dirasakan hanya sebesar bola kaki. Jagat
raya ini dengan mudah dapat dijelajahi setiap saat, Manusia pun seakan berada pada apa
yang diistilahkan pakar komunikasi Marshal Mc.Luhan sebagai global village (desa
buana), sebuah dunia tanpa batas. Bahkan, batas ruang antara realitas dengan dunia maya
Tak mengherankan jika Mark Slouka, dosen bidang sastra dan budaya Universitas
California yang juga penulis fiksi, menjuluki kondisi ini sebagai “ruang yang hilang”.
Banyak sudah prinsip dan nilai yang berubah dalam masyarakat akibat berbagai
pergeseran dan keadaan zaman seperti digambarkan di atas. Banyak hal yang di masa
sebelumnya dianggap tak mungkin terjadi, menjadi sangat mungkin terjadi dalam
masyarakat hari ini. Peristiwa-peristiwa yang di masa lampau dianggap luar biasa
sehingga terus membekas dalam pikiran orang-orang yang mengetahuinya, pada masa ini
bisa dianggap sesuatu yang biasa-biasa saja. Banyak kejadian yang di zaman sebelumnya
dianggap surealis, pada masa kini terjadi secara realis. Lihat saja berita-berita dan
peristiwa-peristiwa yang muncul dan disajikan di kotak ajaib yang bernama televisi:
peristiwa-peristiwa tragis (sering tak masuk akal) lalu lalang setiap hari, dan kita
menyaksikan serta menanggapi semua itu sebagai berita, tidak lebih tidak kurang. Dari
kotak ajaib yang sama kita pun disuguhi seabrek kisah dan cerita. Dari mulai masalah
rumah tangga dan ruang privasi para selebritis hingga kejahatan para koruptor. Dari
mulai glamoritas dunia sinetron hingga penderitaan rakyat yang berebut jatah BLT, gas,
minyak tanah, dan zakat, hingga mempertaruhkan nyawa. Dari mulai tawuran di gedung
parlemen hingga berbagai bencana yang seolah keras kepala terus melanda warga.
Pendeknya, setiap hari, betapa kenyangnya kita dengan peristiwa dan cerita: dari
komedi hingga tragedi, dan mau pilih cerita apa aja ada: dari cerita laga hingga
melodrama. Lalu, apa yang tersisa bagi pengarang dan cerpenis?
Apalagi masyarakat juga kini memiliki dunia yang lebih mengasyikkan, dunia
mayantara, yang dapat mereka arungi kapan saja untuk memenuhi segala keinginan.
Keinginan-keinginan yang sifatnya fantasi dan imajinasi pun bisa menjadi nyata di dunia
maya itu, tanpa dibatasi ruang dan waktu.
Dalam dunia seperti itu, masih diperlukankah juru cerita yang disebut pengarang
itu?

3
***
Jika awal tulisan ini dimulai dari persoalan zaman, tentu ada alasannya, yakni
suatu keyakinan bahwa sastra tidak bisa dilepaskan dari zaman. Sejarah membuktikan,
setiap perubahan zaman, membawa perubahan pula bagi karya-karya sastra yang muncul
di zaman itu, baik secara tematik, maupun estetik. Pada umumnya, perubahan yang
terjadi, bukan dalam arti karya itu mengikuti arus masyarakat zamannya, tapi justru
merupakan penolakan dan penentangan terhadap situasi-kondisi hegemonik yang
mencengkeram masyarakat saat itu.
Sebagai contoh, dalam kesusastraan Eropa, kita mengenal berbagai periode dan
aliran sastra. Aliran-aliran itu menandai situasi-kondisi masyarakat zaman itu. Perubahan
setiap aliran itu tidak muncul begitu saja, tapi muncul karena tuntutan zaman. Dengan
kata lain, “dimunculkan” oleh zaman. Untuk contohnya kita ambil apa yang terjadi pada
abad 17 hingga 18. Abad ini adalah abad yang didominasi oleh paham rasionalisme, yang
meletakkan pemahaman akan segala sesuatu pada kekuatan akal. Zaman ini
mengesampingkan dan tidak memberi tempat bagi hal-hal yang berbau perasaan,
imajinasi, dan sejenisnya. Hegemoni ini kemudian melahirkan suatu revolusi dalam
kesadaran masyarakat, termasuk dalam penciptaan karya sastra, yang meruntuhkan
pandangan yang mengedepankan otonomi akal sebagai sumber kebenaran. Revolusi yang
menentang hegemoni rasionalisme ini melahirkan aliran romantik, yang membuat
orientasi estetika saat itu turut berubah. Di waktu-waktu kemudian, orientasi aliran
romantik pun tidak bertahan selamanya karena mendapat pendobrakan oleh paham
realisme. Paham realisme mendapat pendobrakan lagi oleh paham lainnya, dan
seterusnya.
Di tanah air kita, hubungan perubahan estetika sastra dengan zaman dalam rangka
meronta dari paham dan keadaan yang mendominasi, bisa kita ambil contohnya yang
cukup menonjol pada orientasi estetik karya sastra tahun 1970-an.
Bagi generasi yang hidup tahun 1970-an, tentu masih segar dalam ingatan
bagaimana gemuruh dan gelisahnya masa itu: sebuah masa yang secara global
manghadapi transisi budaya, dan secara politik nasional baru keluar dari transisi
pergantian kekuasaan (dari orde Lama ke orde Baru).

4
Selain menghadapi transisi, masa ini menghadapi krisis kebobrokan moral, krisis
lingkungan dan politik, krisis keadilan dan HAM, merajalelanya kebudayaan pop dan
sikap materialistis, membabibutanya teknologi yang cenderung mengasingkan manusia
dari sifat-sifat humanisnya, ditambah lagi dengan penguasa yang mulai represif dan
mengalami distorsi moral. Contoh dari krisis-krisis yang saat itu merupakan isu penting,
dalam bidang politik misalnya masalah korupsi, dan dalam bidang moral misalnya
menjamurnya night club, sex bebas, dan obat terlarang.
Karya-karya sastra yang muncul saat itu merupakan reaksi dan perlawanan
terhadap apa yang terjadi di masa itu. Peristiwa, perasaan, gejolak politik dan budaya
yang bertumpuk dan carut marut saat itu, seolah tak bisa dipadankan dengan kata-kata
biasa. Tak mengherankan apabila kemudian pada karya sastra masa ini muncul estetika
yang keluar dari estetika konvensional yang mapan. Eksperimentasi dan inovasi yang
melompat jauh dari estetika karya sastra sebelumnya menjadi ciri penting masa ini. Hal
ini terjadi, baik pada puisi, prosa, maupun drama. Dalam bidang puisi muncul berbagai
gerakan sastra, seperti puisi mbeling, puisi bebas (yang dipelopori oleh mahasiswa aktivis
GAS ITB di Bandung), puisi konkrit, puisi mantra, dan lain-lain. Puisi-puisi tersebut,
selain tidak lagi menggunakan bahasa puisi yang mapan digunakan saat itu, juga keluar
dari bahasa verbal, dengan menggunakan media benda-benda. Itu semua dilakukan
karena media dan estetika seperti itulah yang dianggap dapat mewakili gagasan dan
perasaan mereka dalam menggugat situasi zaman saat itu Dalam bidang prosa muncul
cerita-cerita beraliran surealis. Begitu pun dalam bidang drama yang banyak melahirkan
lakon-lakon semacam teater mini kata.
Inovasi estetika yang terjadi pada era 1970-an itu bukanlah estetika yang dicaricari
dan artifisial, tapi mengakar dari jiwa zaman itu. Oleh karena mengakar, estetika
semacam itu mendapat pengikut luas dan menjadi wawasan estetika masa itu. Artinya di
sini kita bisa melihat, bahwa estetika bentuk pada hakikatnya adalah perwujudan isi. Isi
itu sendirilah yang memunculkan estetika.
***
Bagaimanakah dengan estetika yang diusung cerpen-cerpen Indonesia
termutakhir? Dalam zaman seperti digambarkan di awal tulisan ini di mana masyarakat
sudah kenyang dengan cerita, dan banyak sarana untuk menyalurkan kebutuhan daya

5
khayal, apakah masih ada yang tersisa bagi sebuah cerpen sehingga memunculkan
estetika tertentu?
Pada masa orde Baru, khazanah cerpen kita diributkan oleh menjamurnya sastra
koran. Banyak keluhan seputar cerpen-cerpen yang muncul di koran ini, terutama
menyangkut dominasi tema-tema sosial-politik yang tengah aktual dan penyajiannya
yang dianggap lebih mengedepankan gagasan, hingga miskin bahasa dan penokohan.
Tidak menjadi masalah jika terdapat pendapat-pendapat seperti itu. Namun, estetika
cerpen masa Orba memang bukan terletak pada hal itu, ada sisi lain yang menjadi
fenomena khusus dari cerpen-cerpen yang muncul pada masa tersebut yang signifikan
dalam perkembangan estetika cerpen-cerpen kita, yakni kecenderungan cerpen pada gaya
simbolik dan surealis untuk merepresentasikan situasi sosial-politik saat itu. Peristiwaperistiwa
persatiwa nyata yang dibuat menjadi cerita surealis dan simbolik itu dilakukan
pengarang sebagai strategi menghindari represivitas penguasa. Saya kira, penelitian lebih
dalam ke arah itu perlu dilakukan untuk menarik suatu benang merah mengenai
kecenderungan estetika masa itu.
Lalu, bagaimanakah dengan perkembangan cerpen yang terjadi setelahnya?
Apakah perkembangan cerpen pada masa yang sering disebut dengan era reformasi,
menunjukkan perkembangan estetis yang signifikan? Era reformasi, yang terhitung sejak
jatuhnya rezim orde Baru tahun 1998 memang telah menunjukkan fenomena khusus
dalam perkembangan sastra Indonesia. Era keterbukaan pada masa ini telah membawa
keberagaman dalam jenis, bentuk, gaya, dan ideologi yang muncul dalam karya sastra.
Banyak tema-tema yang pada era sebelumnya ditabukan, menyeruak kepermukaan pada
era ini. Hal menonjol yang juga terjadi pada masa ini adalah tergalinya kembali berbagai
jenis sastra yang pada awalnya terpinggirkan, seperti sastra perempuan, sastra lokal, dan
sastra populer. Bahkan, sastra sebagai bagian dari industri, tampak menjadi ciri yang
cukup mencolok untuk era ini.
Akan tetapi, sejauh yang bisa dilihat, belum ada estetika menonjol yang bisa
diklaim sebagai ciri khusus masa ini yang memperlihatkan jiwa zaman ini.
Meskipun demikian, membaca cerpen-cerpen yang dimuat JCI dari cerpeniscerpenis
terkini dalam kesusastraan Indonesia yang berasal dari berbagai kota di
Indonesia, juga memantau cerpen-cerpen yang terbit di beberapa media, termasuk JCI

6
edisi sebelumnya, sudah mulai terlihat, yakni perhatian yang cukup menonjol pada aspek
pengungkapan cerpen (penggunaan bahasa, penggunaan tipe penceritaan dan kehadiran
pencerita (sudut pandang), teknik bercerita, teknik deskripsi, dan sejenisnya). Mengapa
saya katakan benang merah, karena pada hampir semua cerpen hal itu menjadi aspek
yang dominan, bahkan seolah terjadi keseragaman. Eksplorasi pada aspk-aspek tersebut
merupakan sesuatu yang sempat hilang pada era-era sebelumnya.
Intensitas Bahasa
Membaca cerpen-cerpen yang ditulis para cerpenis Indonesia terkini, khususnya
yang dimuat JCI kali ini, ada keseragaman yang muncul, yakni kesabaran dan keseriusan
para pengarang cerpen-cerpen tersebut dalam menjelajah bahasa. Penggunaan bahasa
tersebut terasa intens dan detil sehingga memunculkan gaya bahasa - gaya bahasa yang
terasa baru, segar, dan orisinil. Pengarang sebagai pencipta bahasa betul-betul terasa dari
cerpen-cerpen tersebut. Hal ini tentunya adalah suatu kontribusi yang selalu diharapkan
dalam kesusastraan kita.
Lihatlah, bagaimana penjelajahan bahasa itu membuat pengarang menjadi
penemu diksi, majas, dan gaya bahasa retoris yang segar. Penemuan majas yang segar
dan orisinil tempak misalnya pada kalimat berikut
curahan air berkilat-kilat keperakan seperti pecahan cermin … (Nurul Hanafi,
“Permainan Angin dan Hujan”).
Seorang lelaki memakai udeng masuk. Asap meletup dari mulutnya. Terlihat
bara dalam gelap, bagai kunang-kunang di atas kuburan. Tentu saja bara rokok
Ke Sariye. (Achmad Muchlish Amrin, “Ronjhengan”).
Padi yang pucuk-pucuknya kelihatan seperti sayuran untuk salad, sungai yang
meliuk seperti barisan renda di gaun pengantin, hutan pinus yang harumnya
disintesis menjadi wangi yang tertinggal di rahang pria usai bercukur … (Yuni
Kristianingsih, “Pulang”).
Segaris cahaya senja bergayut, seperti jemari memungut bayangan kecil
kudung pintu, yang sedikit miring … (Mahwi Air Tawar, “Mawar Darah”).
Kecemasan meremas-remas dadaku seolah jemari yang meremas kantung
plastik … (Dalih Sembiring, “Ujung”).

7
Atau, lihatlah gaya retoris lewat pengulangan bunyi berupa permainan asonansi yang
memperkuat suasana yang dituliskan berikut ini:
... Nyanyian-nyanyian gembira bergenta, kata-kata terasa manis meski dada kami
berdetak luka. Aku, Hossina, Annisa, Surabiye, Subiba, dan Salma (perempuanperempuan
yang menginjak dewasa) terus terjaga, sepanjang malam mata kami
terbuka, sekali berkedip bagai bintang-bintang berpijar di angkasa…
(Ahmad Muchlish Amin, “Ranjhengan”).
Begitupula dengan diksi. Diksi-diksi yang digunakan para cerpenis dalam JCI ini
sangat cermat dan dipilih dengan keseriusan. Salah satunya tampak pada kalimat berikut:
Angannya terhempas! Semangat Deslima tandas! Tega kali, kau Sapar!
Umpatnya di nyeri hati. Petang itu langit lebih gelap daripada biasanya,
sekalipun tengah mengandung hujan. Ia giring Giling pulang dengan letak
songkok yang timpang. Kain gendong yang tersangkut di bahu terseret-seret di
tanahAh janjinya pada Giling berbuah serongsok mimpi.
(Hasan Al-Bana. “Kurik”).
Deskripsi
Hal yang juga menonjol yang menandai kekhasan cerpen-cerpen para cerpenis
muda kita adalah keseriusan dalam membuat deskripsi. Selama ini, cerpen-cerpen kita
dianggap miskin deskripsi. Namun, anggapan itu tak berlaku untuk cerpenis-cerpenis
generasi baru ini. Marilah kita simak beberapa contoh deskripsi ini:
Jika kau lihat negeri itu dari atas tebing bukit ini, sungguh tampak seperti
nirwana. Negeri yang tenteram. Negeri itu tampak seperti tertanam jatuh ke
kedalaman ceruk tasik kering. Berpayung awan tipis, berjurang dalam,
berlembah sempit, dan berbenteng pilar gunung-gunung yang tegak di kedua
belah sisinya, menjulang di sebelah barat dan timur.
(Fina Sato, “Sergei”)
Hujan turun renyai, melumuri sisa bukit yang dipotong oleh jalan berbatu yang
menurun yang ujungnya lenyap dari pandanganku setelah kelokan pohon-pohon
kayu putih…
(Nurul Hanafi, “Permainan Angin dan Hujan”)

8
Lampu luar rumah itu menyala. Dan dari jendela terlihat temaram lampu di
dalamnya. Bau asap pembakaran daun kering masih meruap dan masih tersisa
gemeretak bara yang terdengar merdu entah di mana…
(Wa Ode Wulan Ratna, “Ara”)
Ros mengamati tekstur wajahnya. Alisnya hitam di bawah dahi yang lebar.
Matanya mengatup dalam ceruk cekung. Hidung besar. Sepasang bibir kehitaman
dinaungi kumis kasar tak dicukur. Pipi coklat. Rahang kuat. Jakun di leher keras.
Dada yang naik-turun teratur. Lengan yang kukuh. Tangan berurat-urat yang kini
sedang dipegangnya…
(Ragdi. F. Daye. “Rumah yang Menggigil”).
Kehadiran Pencerita
Selama ini, menyangkut estetika bentuk suatu cerpen, para pengarang jarang
bereksplorasi dengan hal-hal yang menyangkut penceritaan, terutama yang berhubungan
dengan kehadiran pencerita (sudut pandang/point of view), namun, pada para cerpenis
muda ini, sudut pandang tampak menjadi aspek penting dalam eksplorasi estetika.
Selama ini, perubahan sudut pandang biasanya kita temukan pada novel. Akan tetapi,
perubahan yang demikian dimanfaatkan para cerpenis ini dalam cerpen untuk
memperkuat daya ungkap cerita mereka. Sebagai contoh, pada bagian tertentu dari cerpen
pengarang menggunakan sudut pandang orang pertama, pada bagian lain menggunakan
sudut pandang orang ketiga, contohnya bisa kita lihat pada cerpen “Sergei” Fina Sato,
“Ujung” Dalih Sembiring. “Kurik” Hasan Al-Bana, dan lain-lain. Bahkan, pada cerpen
“Equilibrium” karya Bramantio, perubahan sudut pandang itu dilakukan langsung
antarparagraf tanpa jeda.
Selain itu, sudut pandang orang kedua yang selama ini tidak termasuk dalam teori
pengkajian prosa fiksi di dunia akademik, dalam cerpen-cerpen itu digunakan. Contohnya
dalam cerpen “Istri Muda Dewa Dapur” karya Sunlie Thomas A. kenyataan ini tentunya
membuat para teoritikus sastra perlu menambahkan penggunaan sudut pandang orang
kedua ini dalam teori pengkajian sastra. Sebelumnya, kita menemukan gejala seperti ini
pada novel, yakni novel “Dadaisme” karya Dewi Sartika.

9
Teknik Bercerita
Dalam kaitan dengan teknik bercerita, kita mengenal istilah teknik ekspositori dan
teknik dramatik. Dalam teknik ekspositori cerita diungkapkan/disebutkan langsung oleh
pengarang. Adapun dalam teknik dramatik, pengarang lebih cenderung
menggambarkannya agar cerita menjadi hidup.
Teknik dramatik tampak dominan menjadi pilihan para cerpenis ini sebagai
sebuah estetika yang diusung, termasuk untuk penggambaran tokoh dan latar. Cerpen
“Mata Ketiga” karya Azizah Hepni, misalnya, untuk menyebut tokoh yang diceritakan
adalah ibu, mengungkapkannya dengan kalimat: sejarahku terlahir dari rahimmu yang
sepi”.
***
Apakah dengan kecenderungan estetika yang ditemukan pada cerpenis generasi
terkini di atas yang membedakannya dengan kecenderungan estetika cerpen sebelumnya
menunjukkan munculnya kebangkitan generasi atau estetika baru dalam cerpen
Indonesia? Untuk sampai pada kesimpulan tersebut kita masih perlu menunggu waktu
untuk melihat sejauh mana estetika tersebut cukup mengakar sebagai jiwa zaman. Jika
mengakar, apapun yang terjadi, estetika yang diusung ini akan kokoh. Tapi jika sekedar
eksperimentasi artifisial, tersapu gelombang sedikit saja pun akan hancur.
Mengapa saya katakan demikian? Saya melihat ada kecenderungan gaya yang
hampir seragam dari para pengarang ini dalam menyajikan cerpennya. (kecuali pada
Sunlie Thomas Alexander yang memiliki gaya sendiri). Sebagai contoh, bandingkan
cerpen Mahwi Air Tawar, Hasan Al-Banna, dan Bramantio ini:
Mula-mula suara dentam besi, lalu suara gumam seseorang dari balik bilik
samping rumah, segaris cahaya senja bergelayut seperti jemari memungut
bayangan kecil kudung pintu, yang sedikit miring…
(Mahwi Air Tawar)
Inikah keperihan yang luar biasa! Keperihan yang menodai leher dengan
seliang lubang. Aku merasakan arus darah berebut mendaki kawah luka… udara
mengalir ke muasal perih…
(Hasan Al-Banna)

10
Gelas besar berisi sebatang sedotan bening bergaris biru, bongkahan-bongkahan
es yang pernah kubus, dan selapis tipis sisa minuman itu kini hanya berdiri manis
di depanku…
(Bramantio)
Apakah keseragaman estetika semacam ini terjadi karena tuntutan semangat
zaman atau cerminan dari perasaan zaman seperti yang terjadi di tahun 1970-an yang
dicontohkan di depan lewat estetika yang diusungnya ? Atau baru merupakan proses dari
penulis muda yang masih mencari bentuk, dalam wujud epigonisme, yang akan berubah
suatu saat? Hal ini saya nyatakan karena dalam cerpen-cerpen para cerpenis yang karyakaryanya
dimuat dalam JCI ini masih ada beberapa cerpenis yang terpengaruh kuat oleh
cerpenis-cerpenis generasi sebelumnya. Sebagai contoh, gaya Joni Ariadinata sangat
kental terasa dalam cerpen “Hutan Bebarong” Karya Fasnuddin Nasrullah. Teknik
simbolik surealisme Seno Gumira Ajidarma seperti dalam cerpennya “Misteri Kota
Ningi” terasa dalam cerpen “Kelak dari Lumpur Itu Ada yang Bangkit” Sandi Firly yang
dimuat di sini.
Terlepas dari hal itu, pencapaian bahasa dan estetika seperti digambarkan di atas
walau bagaimanapun adalah suatu fenomena yang perlu ditandai, walaupun eksplorasi
bahasa yang seolah tampak begitu menggebu ingin dicapai pengarang itu, kadangkadang
tidak didukung penokohan dan latar yang kuat (seperti tampak pada cerpen
“Kaset” dan “Permainan Angin dan Hujan”) sehingga terasa janggal. Eksplorasi bahasa
yang cukup berhasil dan padu dengan unsur-unsur lainnya, dalam pandangan saya adalah
cerpen “Ronjhengan”, “Kurik”, dan “Rumah yang Menggigil”.
Selain hal-hal di atas, fenomena yang muncul dalam cerpen-cerpen para penulis
ini, adalah suatu gejala bahwa gagasan dan konflik cerita tidak lagi menjadi sesuatui yang
dikedepankan seperti sering dilakukan para pengarang era sebelumnya. Hal ini terjadi
bisa jadi karena media-media komunikasi yang ada akibat abad teknologi informasi dan
era keterbukaan telah menampung hal itu, meski semua itu sering terdistorsi tak lebih
sebagai sekedar informasi. Sementara bahasa yang di dalamnya penuh dengan daya
refleksi, terlupakan. Dalam zaman ini, barangkali, itulah yang memang perlu
diselamatkan pengarang.***
Share this article :

0 komentar:

 
Support : Jualan Buku Sastra | Jualan Buku Seni dan Budaya |
Copyright © 2013. areamahwiairtawar - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger