Home » » Barana

Barana


 Cerpen Mahwi Air Tawar

Rumah Markoya menghadap ke utara. Di ujung barat samping rumah terdapat bangunan langgar yang terbuat dari anyaman bambu, menghadap ke timur. Sudah tua benar usianya. Pada bagian-bagian tertentu tampak keropos. Lurus dengan pintu kamar tidur, tak jauh dari beranda, sebuah bingkai terbuat dari bilah bambu terapit balok kayu. Di tengah bingkai itu ada rajutan benang berwarnai-warni. Nyaris kusam warnanya. Bingkai dan rajutan benang itu Barana namanya.

Barana itu tak hanya jadi penanda batas antara teras dan halaman, namun juga menjadi penanda bagi seseorang yang hendak berkunjung ke rumah kerabat atau tetangga. Ingatlah, bila suatu waktu kalian hendak berkunjung ke rumah seseorang namun sesampainya di halaman kalian temui pakaian basah sedang dijemur di atas barana, kalian mesti mengurungkan niat berkunjung. Kalau tidak, nasibmu akan berujung malang.
Tak perlu tetangga sebelah berkabar kalau bapak Markoya dan ibunya sedang tidur atau berada di luar. Cukuplah barana itu. Jika di atasnya tak ada satu pun pakaian, itu pertanda di rumah tak ada seorang pun. Dan kalau di barana hanya ada pakaian perempuan, jangan coba-coba tamu laki-laki masuk, sebab di dalam hanya ada seorang istri. Dan seorang istri tak boleh menemui tamu laki-laki tanpa seizin suaminya. Sebaliknya, kalau di barana itu sedang dijemur pakaian laki-laki dan perempuan, pertanda pihak tuan rumah ada. Maka kalau kalian laki-laki, segeralah naik ke atas langgar – hanya tamu perempuan boleh masuk rumah.
***
Tibalah pada suatu pagi yang cerah. Bapak Markoya sedang berada di luar rumah. Bapak Siwalan datang berkunjung. Ia, lelaki dengan postur tubuh kekar, kulitnya hitam legam, sorot mata tajam, memakai peci hitam, masuk menyelinap diam-diam. Tidak. Bukannya ia tidak tahu kalau di atas barana hanya ada pakaian basah milik ibu Markoya. Tetapi, ia memang sengaja masuk. Jauh sebelum ia memasuki halaman, persis di luar pintu pagar, bapak Siwalan menghentakkan kakinya ke tanah tiga kali. Sepasang matanya penuh selidik melirik ke sekitar, dan tak lama berselang ia masuk tanpa permisi, duduk di balik barana. Anehnya, ketika ibu Markoya mengetahui kedatangannya, tak setutur tegur terucap, sebaliknya ibu Markoya menyambutnya dengan seulum senyum hangat seakan keduanya sudah saling berjanji.
Selepas menyuguhkan dua cangkir kopi, ibu Markoya masuk kamar sebentar. Bapak Siwalan tak melewatkan kesempatan. Ia keluarkan jarum dari dalam sakunya. Kemudian jarum itu ia tusukkan ke ujung telunjuk tangan kanannya. Sambil mengawasi sekitar, ia celupkan jarum yang masih berbekas darah. Diseduhnya darah itu pada kopi ibu Markoya. “Sempurna,” desisnya sambil menggeser pantatnya menjauh. Setelah ibu Markoya keluar dari kamar dengan memakai kerudung berwarna merah, mereka pun duduk berhadapan, bercakap-cakap sebentar.
Lalu sebuah komposisi gambar memantul dari balik rajutan benang barana yang serupa siluet: sepasang tubuh saling tindih di atas kerudung berwana merah di balik barana dan rajutan benang yang lusuh. Ah… kicauan burung, desah lirih tertahan serupa musik rancak ....
***
“Kerudung ini kotor, Bu?” tanya Markoya.
“Tidak,” jawab ibu Markoya.
“Baunya kok lain ya, Bu?”
“Biar. Yang lain saja,” sambil berisak senik, sontak ibu Markoya merebut kerudung merah itu dari tangan Markoya, lalu melipatnya ke balik sajadah.
“Kenapa ibu menangis?”
“Tidak apa-apa. Sudahlah, biar Ibu saja yang nyuci.”
Markoya, gadis kecil mungil itu, pun diam, meski dari sorot matanya tersirat tanya, apalagi saat melihat ibunya menangis.
***
Dua tahun silam, ketika pihak keluarga Siwalan hendak melamar Markoya, tentulah Siwalan beserta bapaknya tak boleh masuk ke dalam ruangan keluarga meski sebenarnya orangtua Markoya dan Siwalan terbilang masih ada hubungan darah. Namun siapa berani melanggar ketentuan? Untuk menemui ibu Siwalan, cukuplah ibu Markoya.
Dalam suasana seperti itulah, Siwalan yang jauh hari sebelumnya bebas bermain dengan Markoya di balik barana, bahkan di kamar tidur, merasa gelisah. Raut wajah bapaknya membuat Siwalan tak betah duduk berlama-lama. Begitu ingin ia menyapa Markoya, teman sepermainannya. Alangkah ingin ia bermain bersama di balik barana sambil mengingat kembali dongeng tentang Potre Koneng yang dipersunting Joko Wedi lewat mimpi hingga hamil.
“Bagaimana dengan rencana pernikahan Siwalan dan Markoya?” kata bapak Markoya.
“Oh, jangan sampai ini terjadi,” bisik bapak Siwalan dalam hati.
“Kalau sudah mantap, lakukan saja,” tegas bapak Markoya.
“Baiklah. Segera kalau begitu,” ragu-ragu bapak Siwalan menjawab.
 “Kenapa ragu?”
Bapak Siwalan melirik ke balik barana, kepada Siwalan.
“Ada yang tidak beres,” kata bapak Siwalan.
Di balik barana, suara isak senik menelisik.
“Gagalkan pernikahan!” seru bapak Siwalan.
“Gagalkan? Apa yang tidak beres, Lek?” tanya bapak Markoya.
“Entah,” jawab bapak Siwalan.
“Bagaimana mungkin rencana pernikahan ini digagalkan?” tanya bapak Markoya heran.
Ibu Markoya dan ibu Siwalan mengintip dengan gugup.
“Kami yang salah,” kata bapak Siwalan.
Ada sebuah isyarat tak jelas terbaca dari ekspresi wajah ibu Markoya. Seketika ibu Markoya masuk ke dalam kamar lalu keluar, pada lehernya terkalung kerudung merah, melangkah pasti. Ia berdiri di balik barana hingga cukup terlihat jelas dari atas langgar.
“Lima belas tahun silam….” ibu Markoya mendesis.
“Cukup. Pernikahan ini digagalkan!” kata bapak Siwalan.
Bapak Siwalan tampak ketakutan saat melihat ibu Markoya berkalung kerudung merah dan berdiri di balik barana.
“Ada apa dengan semua ini, Lek?” tanya bapak Markoya.
“Lima belas tahun silam,” desah Ibu Markoya.
“Ya, kenapa dengan lima belas tahun silam? Aneh,” tanya bapak Markoya.
“Bagaimana tidak aneh….” kata bapak Siwalan.
Ibu Markoya tersentak kaget saat tiba-tiba bapak Siwalan menarik kerudung merahnya.
“Saat ini usia Markoya sudah lima belas tahun,” Bapak Siwalan berujar pelan.
“Memang lima belas tahun. Sudah saatnya Markoya-Siwalan dinikahkan,” kata ibu Markoya.
“Tidak!” bantah bapak Siwalan.
Bulir-bulir air mata terpintal dari liang mata ibu Markoya, serupa kristal yang hinggap pada lesung pipinya dan pada raut mukanya yang tiba-tiba murung.
“Kamu setuju pernikahan anak kita ditunda?” tanya bapak Markoya.
“Pernikahan harus digagalkan!” suara bapak Siwalan lantang.
“Baiklah kalau begitu. Persaudaraan kita putus!” sontak ibu Siwalan beranjak meninggalkan ibu Markoya.
Tak ada yang bisa diperbuat oleh ibu Markoya kecuali membiarkan ibu Siwalan pergi. Sebelum disusul oleh Siwalan sendiri dari belakang, yang tampak riang saat mendengar ditundanya rencana pernikahannya. Terkecuali bapak Siwalan yang masih duduk bersila di atas lencak langgar dengan gusar. Beberapa saat berselang, sambil melirik pada ibu Markoya yang tak kalah canggung, bapak Siwalan pun meninggalkan pelataran langgar tanpa meminta diri.
***
Di luar pagar rumah terdengar lengking sorak-sorai anak-anak seusianya tengah mengejar layang-layang yang terputus. Namun, sore ini, entah mengapa, Markoya merasa terasing dari teman-temannya, juga Siwalan yang sudah berbulan-bulan lamanya tak berkunjung ke rumahnya untuk mengajaknya bermain bersama. Ia juga heran kenapa belakangan sikap ibu Siwalan terhadap dirinya menjadi lain. Tak seperti biasa: bila kebetulan bertemu di jalan Markoya diajaknya mampir, dikasih uang jajan.
Suatu waktu ia bertemu dengan Siwalan yang tengah bersiap-siap bermain bal-balan. Kala itu Markoya baru pulang dari pasar. Ketika keduanya saling bersitatap, Siwalan lari, entah menghindar atau memang mengejar sesuatu. Malam harinya, di langgar, Markoya bercerita pada Durani, temannya mengaji, perihal sikap siwalan. Ia berharap Durani dapat menyampaikan pertanyaannya kepada Siwalan. Keesokan harinya, Durani pun menyampaikan pesan dari Siwalan. Ternyata Siwalan takut, bila ia berdekat-dekat dengan Markoya nanti akan ketahuan bapak-ibunya yang telah melarang Siwalan berteman dengan Markoya.
***
Belakangan Markoya semakin betah berada di balik barana. Yang lebih merisaukan ibunya, Markoya tak pernah patuh kalau dilarang berada berlama-lama di balik barana.
Semenjak Siwalan tak pernah mengunjunginya dan mengajaknya bermain, Markoya selalu teringat dengan masa di mana ia bersama Siwalan, di balik barana, bermain mobil-mobilan yang terbuat dari daun jambu air. Tak jarang keduanya saling beriring memutar berkeliling. Bila keduanya kecapaian, tak segan-segan mereka rebahan di balik barana, tidur berjajar sembari memandangi langit-langit ruangan, bahkan kadang saling berpelukan.
Tak ada yang tahu kenapa barana itu senantiasa menjadi tempat terasyik bagi Markoya. Padahal berkali-kali ibunya melarang agar dirinya tidak bermain di dekat barana. Namun Markoya tak peduli. Markoya tetap mengajak Siwalan di bermain dekat barana.
Setiap kali, bila Markoya dan Siwalan berada di dekat barana, ibu Markoya selalu teringat pada peristiwa lima belas tahun silam, pada suatu pagi saat bapak Siwalan bertamu dan menemuinya di balik barana. Sungguh tak biasa jika ada tamu laki-laki berada di ruangan tamu perempuan. Bukankah menurut aturan adat tamu laki-laki harus ditemui di atas langgar, itu pun harus ditemui oleh suami, bukan istri?
***
Malam merambat pelan. Tak tampak di barana itu satu pun pakaian. Ingat, jika tak ada satu pun pakaian menggantung di atas barana, itu berarti tak seorang pun boleh bertamu.
Ketika Markoya pulang dari mengaji, ia melihat ibunya sibuk mengikat ujung kerudungnya pada langit-langit langgar. Lalu ibu Markoya beranjak, berdiri di tengah-tengah barana, memandangi bulan, bayangan tubuhnya jatuh di lantai.
“Segera tidur,” perintah ibu Markoya tanpa menoleh pada Markoya.
Di luar terdengar pelepah nyiur dihempas angin. Tiba-tiba Markoya merindukan bapak Siwalan datang, memeluknya dengan penuh kehangatan. Sementara dari luar, dari arah barana, suara isak serak ibunya kian jelas terdengar. Ketika Markoya membuka pintu kamarnya, ia terkejut karena melihat ibunya tengah merobek-robek rajutan benang dan merusak bingkai barana. Sesudah itu ibu Markoya bergegas menuju langgar dan memasukkan kepalanya ke dalam gulungan kerudung, yang sebelumnya telah digantungkan ....

 

Bali, Juni, 2005 – Yogyakarta, 2006


Keterangan
Lek                  : Singkatan dari “Alek” (adik)
Lencak             : Balai-balai bambu
Bal-balan        : Sepak bola
Share this article :

0 komentar:

 
Support : Jualan Buku Sastra | Jualan Buku Seni dan Budaya |
Copyright © 2013. areamahwiairtawar - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger