Home » » Kisah Seorang 'Blater' dalam kumpulan Cerpen

Kisah Seorang 'Blater' dalam kumpulan Cerpen

Mungkin sebagian orang berpikir bahwa orang Madura berwatak keras, cenderung pemarah, tukang buat onar dan seabrek anggapan miring lainnya.
Tapi bagi penulis Mahwi Air Tawar, orang Madura adalah orang yang sangat menjaga harga dirinya. Hal tersebut diungkapkannya dalam sebuah buku yang merupakan kumpulan cerita pendeknya, "Mata Blater".

Meski sempat dikecam oleh sejumlah pihak karena dianggap membuka aib keluarganya sendiri, Mahwi Air Tawar bersikeras untuk menceritakan orang-orang Madura dalam versinya sendiri.

Mahwi lahir dan dibesarkan di Madura. Baru setamat sekolah menengah atas ia hijrah ke Jogja untuk menimba ilmu di Sejarah Kebudayaan Islam, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (UIN Suka) Jogja. Namun sayang, ia tidak menamatkan pendidikan S1-nya itu.


Penulis yang telah khatam menulis cerita pendek tersebut, kemudian mengirimkan cerita-cerita pendeknya untuk dimuat di koran-koran lokal dan nasional sejak tahun 2004.

Cerpennya kebanyakan bercerita tentang kampungnya dan orang-orang yang ada di dalamnya, yang kemudian dirangkumnya 12 cerpen tersebut ke dalam sebuah buku kumpulan cerpen yang berjudul "Mata Blater".

Mahwi mengaku hanya ingin menggambarkan segala sesuatu tentang Madura, kebudayaan masyarakatnya, kondisi sosialnya, kebudayaan, dan kesenian Madura.

"Saya mencoba masuk di Madura tempo dulu kemudian membandingkannya di masa sekarang. Misalnya dalam cerpen Kasur Pasir, Sapi Sonok, dan judul utama Mata Blater terdapat persepsi dan perubahan masyarakat selalu menganggap miring sosok Blater," ujarnya beberapa waktu lalu di Yogyakarta.

Saat menulis, dirinya mencoba menjadi sosok seorang blater, atau yang dalam bahasa Indonesia berarti jagoan. Perubahan yang terjadi saat ini adalah, si blater telah dipersepsikan negatif oleh masyarakat, bahwa blater adalah tukang judi, pembunuh dan pembuat onar.

"Padahal blater sebenarnya adalah tokoh pemberani yang selalu berada di depan. Seorang blater berada dalam sebuah masyarakat dan dia pasti disegani. Jika di sebuah kampung ada seorang blater, maka kampung itu akan aman dari pencurian," terangya.

Blater sendiri, menurutnya dekat dengan sosok kyai, pejabat, bahkan polisi. Keberadaan blater hingga sekarang tetap eksis. Mereka secara tidak langsung terorganisir. Sebab setiap ada masalah di kampung, blater pasti mencoba menyelesaikannya dengan gagah berani.

Di mata Mahwi, sifat blater ini sangat menjaga harga diri. Mereka juga takur berbuat salah, jika benar berbuat salah maka blater akan langsung meminta maaf.

"Blater lebih mementingkan nilai estetik, sopan santu. Misalnya ia tidak mau meludah sembarangan, atau tidak mau mengambil yang bukan milik orang lain. Misalnya dia melakukan hal tersebut, dia pasti langsung meminta maaf. Tetapi kalau dia disakiti dia akan lebih garang," jelasnya.

Seorang blater tidak pernah main keroyokan dan tidak pernah mencampuri urusan orang lain. Semua masalah diselesaikan secara fair.

"Itu pun ada prosesnya. Blater harus mendatangi orang yang menyakitinya dulu, minta bagaimana menyelesaikan masalah. Setelah tiga kali tidak ditanggapi, barulah ia mengeluarkan cluritnya," ungkapnya.

Setelah tiga kali blater tidak berhasil mengajak runding damai dengan musuhnya, maka yang terjadi adalah carok. Adu ketangkasan hingga mati. Sedang carok atau adu clurit itu juga ada di dalam ritual orang Madura, yaitu ketika merayakan panen mereka berpesta.

Hal itu dikisahkan Mahwi dalam cerpennya yang berjudul Mata Blater. Berkisah tentang seorang blater bernama Madrusin yang hendak melamar seorang gadis anak orang kyai. Tetapi karena anggapan miring, ia pun tidak ditanggapi. Akhirnya ia melamar dengan menggunakan clurit.

"Nah, hal-hal inilah yang menarik dari seorang blater. Bahwa blater itu bermain fair dan jujur. Bahkan blater juga membantu peran polisi," tuturnya.

Karena banyak mengisahkan kehidupan seorang blater, tumpah darah dan juga hal-hal sensitif lainnya, bukunya ini sempat menjadi heboh di kalangan orang Madura di beberapa daerah.

"Ketika melakukan diskusi buku saya ini di Jember, saya sempat diancam karena membuka aib tentang Madura. Tentu saja yang saya ingin tegaskan di sini adalah saya mengangkat spirit blater dan seorang blater jangan dianggap miring terus sebab perannya sangat penting di masyarakat," tegasnya sembari mengaku bahwa dirinya juga sempat diinterogasi dengan tiga orang Madura di Jakarta.

Cerpen-cerpen Mahwi ini ditulis dalam bahasa Indonesia dengan tidak menghilangkan spirit Madura, sehingga kadang-kadang ia menyisipkan bahasa Madura dalam percakapannya. Dalam cerpen-cerpennya di sini, pembaca diajak untuk mengenal lebih dekat orang-orang Madura.

Joko Widiyarso - GudegNet Tag: cerpen sastra
Share this article :

0 komentar:

 
Support : Jualan Buku Sastra | Jualan Buku Seni dan Budaya |
Copyright © 2013. areamahwiairtawar - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger