Home » » Cerita Penandak

Cerita Penandak

Oleh Mahwi Air Tawar


Cerita Pertama
Kamu lebih memilih selendang dan cermin daripada Kitab Suci. Sungguh, Ibu kaget saat telunjukmu menunjuk pada pilihan yang tak Ibu ingini. Tetapi Ibu tak bisa mengelak meski sebenarnya Ibu cemas dengan pilihanmu. Tapi sungguh Ibu merasa takut!
Hari masih pagi. Kamu berteriak-teriak. Orang-orang mengelilingimu sembari tersenyum dan memandangimu dengan takjub meski bahasamu sulit kami pahami. Tetapi sesuatu telah kami lakukan demi impian dan harapan. Sesaji telah kami persiapkan jauh hari sebelumnya: beras kuning, kelapa muda yang sudah terbelah dua, sebingkai cermin kecil, beberapa buku, Kitab Suci, selendang, dan sebuah kendang.

Nenekmu sibuk memasak bubur di dapur. Kakekmu menembang riang, sesekali bersiul. Oh lihatlah, betapa kakekmu penuh penghayatan. Sungguh. Lihatlah. Lihat, Anakku, dari kelopak matanya air mata menetes seperti gerimis merembes, terus merembes hingga jatuh persis di atas ubun-ubunmu. Sementara satu-dua-tiga tembang dari pengeras suara terus beralun.
Ingat-ingatlah, Nak. Waktu itu, sambil berdendang, kakekmu tak henti-henti membisikkan sesuatu kepadamu. Tetapi betapa aku merasa turut mendengar apa yang ia bisikkan: jangan ikuti jejak ibumu. Lalu, ia menaburkan beras kuning dan kembang-kembang. Tidak! Tidak, Nak, ketika itu ia tidak sedang menyenandungkan lafal doa atau mantra penyucian atas perkembanganmu yang sudah bisa duduk. Tetapi ia menembang, dan kami tak bisa menghentikan. Ihk, suaranya tak lagi sumbang. Tak seperti biasa. Namun merdu, Anakku. Merdu. Ah betapa Ibu tersentak tak percaya saat tanganmu menunjuk-nunjuk selendang dan cermin. Nenek dan kakekmu lebih riang daripada aku, ibumu, yang menjadi murung ketika mengikuti telunjukmu yang menunjuk selendang.
Kakekmu tertawa. Mungkin ia merasakan sesuatu yang lucu atau ia benar-benar gembira ketika tanganmu meraih selendang dan kendang. Sejak itu. Sejak usiamu menjelang remaja, ibu benci terhadap kakekmu yang selalu mengajarimu nembang. Diam-diam ibu menyuruh teman bapakmu untuk membunuhnya. Ibu tak suka kalau kamu menjadi pesinden seperti Ibu.
Sekarang enam belas tahun usiamu. Kamu tampak lebih cantik. Matamu lentik. Suaramu merdu, banyak orang, termasuk Kiai Rusdi, gurumu mengaji, bangga dengan kemampuanmu saat menyenandungkan ayat-ayat Al-Quran. Ketahuilah, Anakku, tak ada yang lebih membanggakan bagi seorang ibu selain anaknya menjadi seorang abdi dalem, menjadi santri kebanggaan seorang kiai.
Tetapi, aduh…. Anakku, betapa nasib tak bisa ditimang, malang datang tanpa harus dijelang, mengapa justru sekarang kamu menginginkan hal yang sangat ibu benci? Kamu memberontak. Kamu melarikan diri dari tempatmu mengaji. Apa sebabnya, Anakku? Terkutukkah ibumu? Terkutukkah aku, wahai Anakku?
***
 “Apakah menjadi seorang pesinden buruk? Dosakah, Ibu?” tanya si anak.
 “Setidak-tidaknya, orang lain akan memandangmu sebagai wanita murahan,” jawab si ibu.
Si ibu beranjak, lalu berdiri dekat lemari dan berbisik: “Persis seperti Ibu dulu.
“Tak bolehkah aku mempertahankan harga diri lewat tembang-tembang dan tarianku daripada berbohong terus menerus….”
“Kamu keras kepala.”
“Seperti Bapak. Beliau pertahankan diri dengan kekerasan.”
“Dari mana kamu tahu masa lalu bapakmu, Nak?”
“Kakek bercerita banyak.”
Tangis si ibu tak tertahan. Katanya, di sela isakan: “Ibu tak ingin….”
“Tak ingin jadi pelacur?”
“Bagi mereka pesinden tak beda dengan pelacur.”
“Ibu pelacur?”
Si ibu tersedu.
“Kamu anakku. Anak almarhum bapakmu. Ju, itu namamu, Nak.”
“Tapi bukan anak pelacur, kan? Bukan keturunan lelaki bajingan, kan, Ibu?”
Si ibu hanya menunduk dan merasa pertanyaan dari anaknya itu sebuah ancaman baginya. Sungguh ia tak tahu jawaban apa yang mesti ia berikan kepada anaknya.
“Ibu pembunuh.”
Si ibu menangis. Ju, anaknya, tak peduli.
“Bahkan Ju sangat yakin, Bu, dengan menari, Ju akan masuk surga. Anakmu hibur mereka yang sedih biar menjadi gembira. Yang punya hutang tak kan merasa terbebani. Yang lapar akan merasa kenyang.”
Si ibu hanya bisa menatap anaknya dengan mata sembab. Bagaimana mungkin Ju, yang masih menginjak remaja, mampu memiliki keyakinan bahwa dengan menari ia akan masuk surga?
“Murtad!”
Si ibu membentak hingga Ju terjerembab saking terkejutnya.
“Durhaka!”
Dan lekas si ibu masuk kamar.
“Ibulah yang durhaka!”
Ju mengangkat kepalanya, lalu merangkak mendekati pintu depan. Ju mundur sejenak sebelum akhirnya membentur-benturkan tubuhnya pada pintu. Ju meraung-raung hingga tak lama kemudian para tetangga berdatangan dan berusaha mencegahnya. Namun Ju terus memberontak hingga orang-orang harus menyeretnya ke tengah halaman. Sejak malam itu si anak kesayangan pergi tanpa pernah kembali.

Cerita Kedua
Bertahun-tahun aku menginginkan anak namun tak pernah kesampaian. Separuh usiaku habis dalam arena pertunjukan – satu hal yang tak asing bagi para pesinden. Demikianlah memang risiko seorang pesinden: sulit mendapatkan suami meski kecantikannya tak dapat disangsikan. Sekalipun ada lelaki yang mendekat, mereka tak lebih dari sekadar iseng. Seperti yang telah terjadi pada diriku: beberapa kali menikah namun selalu berujung pada perceraian. Setiap kali aku mendapatkan suami baru, dapat dipastikan hanya akan seusia jagung. Tak lebih.
Adalah Matenan, lelaki bertubuh kekar dengan mata cekung dan tampak murung, pada suatu pagi yang sedikit mendung, datang kepadaku. Pada mulanya aku kaget dan tidak percaya saat dari ambang pintu Matenan berucap salam dengan sopan.
Bukankah Matenan dikenal seorang yang selalu membuat onar? Hidupnya hanya dihabiskan di arena perjudian dan pertunjukan bersama para pesinden. Lalu untuk apa ia datang dan berucap salam? Begini ceritanya.
Usianya sudah tua. Namun ketajaman matanya saat memandang masih memberi kesan kalau dirinya adalah orang yang sangat gagah dan pada usia mudanya ia pantang menyerah.
“Tak nyaman hidup begini terus,” kata Matenan.
“Maksudmu?”
“Sudah cukup lama saya membujang,” kata Matenan sambil menunduk, lalu menyambung, “perempuan yang ingin saya jadikan istri pada takut. Semua!”
“Ya, pastinya begitu.”
“Tapi maukah kamu jadi istri saya?”
“Tidak.”
“Saya ingin berubah.”
Hening.
“Buktikan kalau tidak percaya.”
“Benarkah sampean mau berubah?”
“Sumpah tujuh langit.”
“Untuk apa menikah?”
“Untuk apa saya hidup tanpa seorang istri?”
Begitulah, Nak. Bapakmu, Matenan, meninggal saat kandungan Ibu berusia tujuh bulan. Tapi Ibu bangga punya suami sepertinya, sekalipun pada masa mudanya bapakmu adalah orang yang selalu berbuat onar! Tetapi, Nak, betapa Tuhan bermurah hati kepadanya: pada usianya yang keempat puluh, ia sah menjadi suamiku, menjadi bapakmu. Sejak itulah seluruh sikap hidupnya berubah. Ia menjadi orang yang sangat rajin pergi ke masjid dan selalu bekerja dengan tekun. Lantaran perubahan sikap bapakmulah, pandangan para tetangga menjadi baik, kecuali kakekmu.
“Sebab itu ibu membunuh kakek?”
“Tidak ada pilihan, Nak.”
Semula kami menjadi sampah masyarakat. Pedih rasanya. Kami diasingkan, setiap hari dicibiri. Itu semua lantaran aku seorang pesinden. Maka untuk itulah, janganlah kamu jadi pesinden, jadilah wanita baik-baik. Setidaknya menurut ukuran masyarakat, wanita baik adalah wanita yang tidak menjadi pesiden.

Cerita Ketiga
Sudah larut malam. Ia masih duduk di balik jendela yang membingkai langit dan gugusan bintang. Kadang ia tersenyum getir. Separuh wajahnya tertutup tirai yang berayun disingkap angin. Sesekali remang bulan menerpa wajahnya yang murung. Dari jauh samar-samar terdengar suara tetembangan mengalun pelan, sepelan angin yang menggiring aroma kembang kuburan.
Ia, bagaimanapun, sangat menginginkan anak gadisnya menjadi orang yang pintar mengaji daripada mengikuti jejaknya sebagai seorang penari, pesinden, yang separuh hidupnya hanya dihabiskan di antara kerumunan lelaki, di arena panggung. Tak jarang caci dan maki dari sebagian keluarganya jadi ancaman tak terelakkan.
Malam berlalu dengan lamban. Seekor cicak merayap di dinding, lalu menyelinap ke balik tirai yang sedikit tersingkap. Sesekali cicak itu mengintip ke luar jendela. Bayang-bayang pohon siwalan memanjang. Kemerisik dahan janur terdengar samar.
Derit ranjang saat ia naiki membuat seekor cicak merayap cepat lalu menghilang ke balik bingkai-bingkai foto yang menggantung di samping pintu. Entah kenapa kepalanya seperti digerakkan tangan-tangan gaib: ia menoleh pada tiga bingkai foto itu. Sepasang matanya nanap memandang: dalam foto itu dirinya berada paling kanan, Matenan suaminya di tengah-tengah dan paling kiri itu gambar anaknya yang sampai sekarang hanya bisa ia kenang.
Dalam foto yang lain, Ju berada di dalam tandu seperti seorang ratu, diapit empat anak perempuan yang sebaya. Sambil memandangi foto anaknya itu, ia merasa memasuki kehidupan bertahun-tahun silam. Jejak masa lalu bertalu pilu. Dari balik bingkai itu terdengar decak cicak. Ketika ia beranjak dari atas ranjang, cicak itu menyembulkan kepala lalu berjingkat pergi. Kali ini cicak itu sembunyi di balik bingkai berisi foto Matenan.
Perempuan itu melangkah pelan. Sambil berjalan ia pandangi foto anaknya. Dan ia mendesis, “ke mana kamu sesungguhnya, Ju?”
Tak ada jawaban. Ruangan senyap. Ia pandangi bayangan tubuhnya yang rebah di dekat lemari di sudut ruangan. Ia dekati bayangan itu dengan langkah lekas seperti hendak menemui seseorang yang telah lama pergi jauh dan baru saja kembali. Tetapi, semakin ia mendekat, bayangan itu semakin mengecil. Ia meraba dinding itu, tetapi setelah tahu tidak ada apa-apa di sana, ia menjadi semakin murung. Kini ia mondar-mandir di dalam kamar, lalu mendekat ke arah jendela. Dibukanya tirai dan daun jendela, lalu dipanggilnya nama anaknya, “Ju!”
Langit pucat. Gemerisik angin terdengar seperti suara orang yang sedang terpekik lehernya. Dengan kecewa ia melangkah ke arah meja samping lemari. Digesernya pelan-pelan meja itu hingga mendekati dinding tempat ketiga foto tergantung. Diraihnya foto anaknya dan tak lama kemudian, dilemparkannya foto itu ke luar jendela.

 

Tepi Kali Bedog, 2009

 

Keterangan

Careta             : Cerita

Penandak        : Penari

Abdi dalem      : Seorang santri yang dipercaya menjadi pembantu kiai

Share this article :

0 komentar:

 
Support : Jualan Buku Sastra | Jualan Buku Seni dan Budaya |
Copyright © 2013. areamahwiairtawar - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger