Home » » “Blater” Fragmen Manusia Madura : Kajian Strukturalisme Genitik

“Blater” Fragmen Manusia Madura : Kajian Strukturalisme Genitik


Oleh:  Siswanto, S.Pd







   
Lebih baik mati berkalang tanah daripada menanggung hinaan orang. Harga diri harus dijunjung tinggi. Begitu selalu Madrusin mengawali pembicaraan di setiap pertemuan. Kalau benar kabar Sati menangis diancam oleh Indrajid dan dipaksa orang tuanya untuk minum air kembang setiap saat. Maka, tak pelak lagi, tiba saatnya bagi Madrusin memperlihatkan keperkasaannya sebagai lelaki. Ia menganggap Indrajid dan orang tua Sati sendiri melampaui batas. Maka, bergeraklah.

A.    Pengantar
Karya sastra dalam paradigma sosiologi sastra adalah teks yang menggambarkan bagaimana individu atau manusia berinteraksi dengan lingkungannya, baik hubungan dengan alam, antar manusia, dan pencipta-NYA. Dalam perkembangannya, diskursus mengenai sosiologi sastra tidak pernah usai, salah satu yang menjadi penyebabnya yaitu adanya perbedaan perspektif mengenai konsep sosial masyarakat. Sehingga, sosiologi sastra tidak memiliki definisi yang bersifat tunggal. Akan tetapi, pembicaraan ini akan menguraikan konsep sosiologi Marxisme dan pandangan terhadap sosiologi sastra yang diperdalam oleh para penganutnya, antara lain Lukas, Swingewood, Goldman, dan lain-lain. Kenapa konsep sosiologi Marxisme yang dijadikan landasan berpikir dalam kajian sosiologi sastra kali ini? Berikut beberapa alasannya mengenai hal tersebut.
Menurut Faruk (2005:5) ada tiga hal yang menjadikan pemikiran Marx sangat menarik dibicarakan dalam kajian sosisologi sastra. Pertama, Marx senidiri pada mulanya adalah seorang sastrawan sehingga teorinya tidak hanya fokus pada masalah kesusastraan, melainkan bahkan dipengaruhi oleh pandangan dunia romantik dalam kesusastraan. Kedua, teori sosial Marx tidak hanya netral, melainkan mengandung ideologi yang pencapaiannya terus-menerus yang disuhakan oleh para penganutnya. Ketiga, di dalam teori sosial Marx terbangun suatu totalitas kehidupan sosial secara integral dan sistematik yang di dalamnya kesusastraan ditempatkan sebagai salah satu lembaga sosial yang tidak berbeda dengan lembaga sosial lainnya, yaitu sebagai aktivitas mental yang dipertentangkan dengan aktivitas material manusia.
Marx percaya bahwa struktur sosial suatu masyarakat, juga relasi atau struktur lembaganya, moralitasnya, agamanya, dan kesusastraan, terutama sekali ditentukan oleh kondisi-kondisi kehidupan, khususnya kondisi-kondisi produktif kehidupan masyarakat itu. Dengan demikian, ia membagi masyarakat menjadi infrstruktur atas dasar ekonomik dan superstruktur yang dibangun diatasnya. Jadi, kaitannya dengan kesusastraan bahwa setiap pengarang itu mewakili kelasnya atau subjek kolektif di mana ia berada. Hal tersebut diperjelas oleh pendapat Swingewood (1972: 193) bahwa karya sastra, dalam paradigma sosiologi sastra, merupakan refleksi dari kehidupan masyarakat karena karya sastra memiliki kapasitas untuk mengevokasi fenomena-fenomena kehidupan yang dialami oleh anggota masyarakat. Karya sastra tidak lagi dapat dipahami semata-mata sebagai kualitas otonom atau dokumentasi sosial-imajinatif, melainkan sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat, karena karya sastra adalah produk dari kebudayaan dan peradaban, di mana pengarang adalah anggota dari masyarakat tersebut.
Sastra sebagai refleksi suatu masyarakatnya dan representasi pengarang sebagai bagian dari subjek kolektif belum cukup, karena permasalah sosiologi sastra semakin lama makin rumit. Oleh karena itu, para penganut Marxisme mencoba mencari dan mengembangkannya. Sebagaimana yang diungkapkan Lucien Goldman dalam bukunya Cultural Creation of Modern Society 1976, bahwasanya karya sastra – selain dipengaruhi oleh struktur sosial – juga mampu berlaku sebaliknya (interpedensi), yaitu mempengaruhi masyarakat yang lebih luas, khususnya  masyarakat pembaca. Jadi, karya sastra dapat atau memungkinkan mempengaruhi infrastruktur sehingga menyebabkan terjadinya perubahan sosial, demikian juga karya sastra bisa jadi dipengaruhi infrastruktur, karena pengarang sebagai subjek kolektif hidup dan berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya.
Secara tidak langsung Goldman menyiratkan bahwa adanya homologi atau kesesuaian antara struktur karya sastra dengan struktur masyarakat, sebab keduanya merupakan produk dari aktivitas strukturasi  yang sama dan bersifat dialektis bukan determinasif. Interdepedensi dialektis tersebut, dimediasi oleh apa yang disebut sebagai sediasi semiotik (tanda, bunyi, kata, peristiwa) dan pandangan dunia (gagasan, ide, perasaan) yang menghubungkan antara kesadaran kolektif pengarang dan pengarang sebagai subjek kolektif. Hubungan antara superstruktur dan infrastruktur dalam karya sastra, dapat dilihat melalui latar sosial, budaya, ekonomi, politik, dan agama yang merupakan konstruksi sosialnya. Sehingga, melahirkan fakta kemanusian atau fakta historis baik verbal dan nonverbal.
Subjek karya sastra itu sendiri bukanlah individu, melainkan kolektivitas tertentu. Ada berbagai macam subjek kolektif seperti keluarga, kelompok kerja, dan sebagainya. Meskipun demikian, tidak semua kelompok itu dapat dianggap sebagai subjek karya sastra. Kelompok sosial yang layak dianggap sebagai subjek kolektif itu hanyalah kelompk sosial yang gagasan-gagasan dan aktivitas-aktivitasnya cenderung kea rah penciptaan suatu pandangan yang lengkap dan menyeluruh mengenai kehidupan manusia (Goldmann dalam Faruk, 2002:23). Cerpen Mata Blater karya Mahwi Air Tawar merupakan karya yang dilatarbelakangi oleh terintegrasinya sistem nilai masyarakat kelas pedesaan ke dalam kebersamaan, subjek itu adalah kelompok sosialis.
Sesungguhnya hubungan antara karya sastra dengan subjek di atas tidaklah langsung, tetapi dimediasi oleh apa yang disebut Goldmann sebagai pandangan dunia. Pandangan dunia didefinisikan sebagai kompleks menyeluruh gagasan-gagasan, aspirasi-aspirasi, perasaan-perasaan, yang menghubungkan secara bersama-sama anggota-anggota suatu kelompok sosial tertentu dan mempertentangkannya dengan kelompok sosial yang lain. Sebagai gagasan, pandangan dunia itu bukanlah fakta empiris yang langsung, melainkan suatu abtraksi yang mendapatkan bentuk-bentuk konkretnya di dalam teks-teks sastra dan filosofis tertentu (Swingewood dalam Faruk, 2002:24).
Berdasarkan uraian di atas, maka garis besar sosiologi sastra dengan pendekatan strukturalisme genetik memandang bahwa karya sastra bukan hanya dipahami sebagai struktur yang otonom, melainkan sebagai struktur yang terikat erat dengan faktor-faktor eksternal yang ada di luarnya, dan berhubungan secara interdepedensi yang bersifat dialektik. Misalnya, pengarang dipengaruhi oleh tradisi sastra yang membentuk kesadarannya, atau dipengaruhi lingkungan dimana ia tumbuh dan berkembang sebagai makhluk sosial. Unsur-unsur yang mempengaruhinya tersebut, terelaborasi dalam karya-karyanya yang pada akhirnya dapat diketahui bagaimana pandangan dunianya.
Proses kreatif pada setiap pengarang tidak bisa dilepaskan dengan background budaya, sosial, ekonomi, politik, dan agama di mana ia menjadi bagiannya. Demikian juga, pengarang cerpen Mata Blater Mahwi Air Tawar yang selalu mengevokasi fenomena sosial budaya di mana ia pernah menyemai mimpi, yaitu tanah Madura. Mulai asin garam, tanah kerontang gersang menghampar, hingga bau anyir darah sebagai manusia Madura, ia tuangkan dalam karya-karyanya yang khas. Mata Blater, adalah satu di antara kumpulan cerpennya, di mana seratus persen semuanya menceritakan fragmen-fragmen budaya tradisi Madura: dan dia di dalamnya.

B.     Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat disusun rumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu:
1.      Kelompok sosial asal pengarang dan posisinya dalam struktur sosial yang hasil relasinya itu kemudian diungkapkan ke dalam cerpen Mata Blater
2.      Pandangan dunia pengarang yang terefleksikan dalam cerpen Mata Blater sebagai hasil strukturasi persoalan sosial pada masa kelahiran karya tersebut.
3.      Posisi pengarang dan teks sastranya dalam hubungan dengan perkembangan sastra Madura.

C.    Landasan Teori
Penelitian sastra merupakan suatu bentuk kegiatan ilmiah yang memerlukan teori sebagai landasan kerja serta pengarah dalam kegiatan penelitiannya (Chamamah, 2001:12-15). Sebagai sebuah landasan kerja penelitian, teori dapat diartikan sebagai suatu pernyataan, pendapat atau pandangan tentang hakikat suatu kenyataan, serta hubungan antara satu fakta dengan fakta yang lain, dan kebenarannya dapat diuji melalui metode dan prosedur tertentu (Ahimsa, 2007:3)
Salah satu fungsi teori yaitu, untuk menguraikan permasalahan dalam sebuah penelitian, demikian halnya penelitian ini. Maka, teori strukturalisme genetik digunakan untuk mengupas genetik cerpen Mata Blater karya Mahwi Air Tawar serta pandangan dunia pengarangnya. Sementara untuk membahas masalah posisi teks dan pengarang dalam lingkaran sosial budaya di mana pengarang adalah menjadi bagian di dalamnya.

1.    Strukturalisme Genetik
Strukturalisme genetik adalah sebuah teori sastra yang didasarkan pada pemikiran Marxis. Dalam pandangan ideologi Marxis, terutama yang dikemukakan oleh Engels dan Plekhanov, karya sastra merupakan cermin pemantul proses sosial. Konsep seni sebagai cermin ini berstandar pada sumber utama kehidupan sosial, yakni perjuangan kelas. Menurut pandangan Marxis, seni yang tidak bersumber pada perjuangan kelas tidak mungkin menjadi seni yang agung. Semua seni dan sastra terikat pada kelas, seni dan sastra yang agung tidak dapat muncul dari masyarakat yang dikuasai oleh pandangan borjuis. (Damono, 1978:30)
George Lucacs, seorang kritikus Marxis, sepakat dengan Plekhanov bahwa sastra terikat pada kelas, dan bahwa sastra besar tidak mungkin lahir di bawah dominasi borjuis. Sastra menurut Lucacs ditulis berdasarkan pada pandangan tertentu. Dan pujangga besar dalam pandangannya adalah mampu menciptakan tipe-tipe manusia yang abadi, yang merupakan kinerja sesungguhnya dari pencapaian sastra. Semua karya sastra harus diukur dengan kriteria ini. Tipe itulah yang dapat menanpilkan esensi terdalam dari zaman-zaman lampau; dan nilai-nilai zaman lampau akan abadi kalau pengarang berhasil menciptakan tipe-tipe yang dapat dipahami (Damono,1979:32).
Sedangkan menurut Grebstein (dalam Damono, 1979:5) karya sastra tidak dipahami secara lengkap apabila dipisahkan dari lingkungan, kebudayaan, atau peradaban yang telah menghasilkannya. Hal ini dapat dipahami karena karya sastra lahir sebagai hasil dari perilaku sosial, yaitu melalui kreativitas sastrawan. Dalam proses kreatifnya dapat dipastikan bahwa sastrawan dipengaruhi oleh berbagai fenomena sosial kemasyarakan yang terjadi di sekitarnya. Hal ini dapat dipahami pula,  mengingat sastrawan adalah anggota masyarakat yang tidak mungkin lepas dan melepaskan diri dari lingkungan masyarakatnya.
Kaitan erat sastra dan kehidupan sosial, terutama dengan kelas sosial, banyak dikembangkan oleh kritikus Marxis lainnya. Salah satu yang cukup dikenal pada paruh kedua abad keduapuluh adalah Lucien Goldmann. Goldmann mengembangkan sosiologi sastra yang dapat menyatukan analisis struktural dengan materialisme historis dan dialektik. Sosiologi sastra yang dikembangkan oleh Goldmann didasarkan pada prinsip dasar seperti yang dikemukakannya:
One of fundamental principles of the sociological method which I my self follow is to be rigorously single-minded-kike Marxist thought in general. It assert, among other things, that no sociology can be realistic unless it is historical, just as no historical research can be scientific and realistic unless it is sociology. Not only are there no distinctively social facts, and other human facts which could be attached to two different sciences. Thus the need to study human facts both in their essential structure an in their concerete reality requires a method which is simultaneously both sociology and historical. (Goldmann, 1973:103)

Berdasarkan pendangan Goldmann di atas, sosiologi dan sejarah mempunyai kaitan yang erat membuat keduanya menjadi realistis. Sosiologi harus bersifat historis, demikian pula sebaliknya. Dengan demikian usaha untuk menelaah fakta-fakta kemanusian baik dalam strukturnya yang esensial maupun dalam kenyataannya yang konkrit membutuhkan metode yang digunakan secara simultan bersifat sosiologis dan historis.
Berangkat dari pandangan Golmann tersebut, adanya usaha untuk menyatukan analisis struktural dengan materialisme historis serta dialektik. Bagi karya sastra harus dipahami sebagai totalitas yang berkamakna. Ia berpendapat bahwa unsur-unsur yang membentuk teks itu mengandung arti hanya bila bisa memberikan suatu lukisan lengkap dan terpadu tentang makna keseluruhan karya tersebut. (Damono, 1979:43)
Teori yang dibangun oleh Goldmann kemudian dia sebut sebagai teori strukturalisme genetik. Dasar dan teori tersebut disebutkan oleh Goldmann adalah sebagai berikut.
Hypothesis that all human behaviour is an attempt to give a meaningfull response to a particular situation and tends, therefore, to create a balance between the subjetct of action and the object on which it bears, the enviroment. This tendency to equilibrium, however, always retains an unstable, provisional character, in so far as any equilibrium that is more or less satisfactory between the mental structures of the subject and the external world culminates in a situation in which human behaviour transforms the world and in which this transformation renders the old equilibrium in adequate and engenders the tendency to a new equilibrium that will in turn be supereseded.
Thus human realities are represented as two sided processes: destructuration of old structuration of new totalities capable of creating equilibria capable of satisfying the new demands of the social groups that are elaborating them (Goldmann, 1975:156).

Prinsip-prinsip dasar strukturalisme yang dikembangkan oleh Goldman, didasarkan atas pemahaman konsep sosial yang mendalam. Dia meyakini bahwa semua aktivitas manusia merupakan respons dari subjek kolektif atau individu dalam situasi tertentu yang merupakan kreasi atau percobaan untuk memodifikasi situasi yang ada agar seimbang. Sesuatu yang dihasilkan merupakan fakta hasil usaha manusia untuk mencapai keseimbangan yang lebih baik dengan dunia sekitarnya. Dalam hal ini, manusia selalu mempunyai kecenderungan perilaku yang bersifat alami karena manusia berusaha untuk beradaptasi dengan alam dan lingkungan sekitarnya yang merupakan suatu proses timbal balik.
Selanjutnya ia menyimpulkan bahwa studi ilmiah terhadap fakta-fakta kemanusian, baik itu ekonomi, sosial, politik atau budaya melibatkan usaha untuk menerangkan proses-proses itu melalui pembongkaran terhadap keseimbangan yang telah mereka hancurkan dan mengarahkan ke arah mana mereka bergerak (Goldmann, 1975:156). Menurut Goldmann, semua tingkah laku manusia adalah sesuatu yang berarti, baik itu tingkah laku dalam menghadapi situasi tertentu ataupun persoalan interaksi dengan subjek lain. Selanjutnya Goldmann mengatakan bahwa dalam human sciece, terdapat dua kategori yang disebutnya sebagai struktur dan fungsi. Fungsi menurut Golmann selalu berada pada tataran tidak disadari, sedangkan struktur tidak. (Goldmann, 1981:40).
Kontekstualisasi karya sastra, konsep hubungan tersebut diterapkan Goldmann dalam kerangka. Pertama hubungan antara makna suatu unsur dengan unsur yang lainnya dalam karya sastra yang sama dan kedua, hubungan tersebut membentuk satu jaringan yang saling mengikat. Menurut Goldmann, seorang pengarang tidak mungkin mempunyai pandangan sendiri. Pada dasarnya, dia menyuarakan pandangan dunia suatu kelompik sosial, transindividual subject. Pandangan tersebut bukanlah suatu realitas, melainkan suatu yang hanya dapat dinyatakan secara imajinatif dan konseptual dalam bentuk karya sastra besar (Goldmann, 1975:9).
Dengan kata lain, karya sastra yang besar oleh Goldmann dianggap sebagai fakta sosial dari subjek transindividual karena merupakan hasil aktivitas yang objeknya merupakan alam semestra dan kelompok manusia. Itulah sebabnya, pandangan dunia yang tercermin dalam karya sastra terikat oleh ruang dan waktu yang menyebabkan ia bersifat historis. Keterikatan antara pandangan dunia penulis dalam sebuah karya dengan pandangan dunia pada ruang dan waktu tertentu itulah yang merupakan hubungan genetik sehingga teori Goldmann disebut strukturalisme genetik. Pandangan dunia atau ideologi menurut Goldmann, merupakan alat mediasi bagi hubungan antara struktur masyarakat dengan struktur karya sastra. Hubungan ketiganya saling berkaitan dan tidak bisa dilepaskan.

2.    Struktur Teks
Karya sastra yang besar merupakan strukturasi dari subjek kolektif. Oleh karena itu, karya sastra mempunyai struktur yang koheren dan terpadu. Dalam konteks strukturalisme genetik konsep struktur karya sastra berbeda dari konsep struktur yang umum dikenal (Faruk, 2005:17). Karya sastra menurut Goldman (dalam Faruk, 2005:17) merupakan ekspresi pandangan dunia secara imajiner dan dalam usaha mengekspresikan pandangan dunia iru pengarang menciptakan semesta tokoh-tokoh, objek-objek, relasi-relasi secara imajiner. Yang menjadi pusat perhatian Goldmann adalah relasi antara tokoh dengan tokoh dan tokoh dengan objek yang ada di sekitarnya. Peran tokoh dalam analisis strukturalisme genetik sangat penting artinya, karena tokoh itulah yang memang membawa pesan dari si pengarang sebagai subjek transindividual. Karya sastra yang sering menjadi acuan Goldmann adalah novel. Menurutnya novel merupakan the story of a degraded search, a search for authentic values in a world itself degraded, but at an otherwise advance level according to a different mode (Goldman, 1975:1). Goldmann melanjutkan bahwa yang ia maksud sebagai authentic values merupakan suatu yang muncul dalam novel yang mengorganisasi seturut sebuah ide dunia secara keseluruhan secara implisit. Selain itu, sebagai kisah yang terdegradasi yang mencari nilai-nilai otentik dalam dunia yang tidak otentik, novel perlu menyajikan baik biografi maupun rentetan kejadian sosial (Goldmann, 1975: 1-4)
Sementara Damono (1979:45) menegaskan bahwa apa yang dimaksud karya sastra yang besar adalah karya sastra yang memiliki kepaduan internal yang menyebabkan mampu mengekspresikan kondisi manusia yang universal dan sadar. Berbeda dengan karya besar, karya picisan hanya mencerminkan periode historis dan bersifata dokumenter saja. Sementara sastra besar menggarap masalah besar pula, dan ia mampu mencapai pertalian dalam (inner coherence). Goldmann menyiratkan bahwa hanya karya sastra besar yang berbau sosiologis dan filsafat saja yang pantas ditelaah.
Status karya sastra besar layak disandangkan kepada cerpen Mata Blater karya Mahwi Air Tawar. Namum demikian, bukan hal itu yang paling penting dalam kebesaran cerpen tersebut. Melainkan isinya yang memiliki kepaduan. Ekspresi tersebut merupakan hasil identifikasi pengarang dengan kecenderungan-kecenderungan sosial yang penting pada zamannya, sehingga ia bisa mencapai ekspresi yang padu tentang kenyataan. Dipilihnya karya tersebut, ini dimaksudkan untuk menjembatani data estetik. Goldman membagi fakta estetik menjadi dua tataran dalam hipotetisnya sebagai berikut.
1.      The corespondence between the world vision as an experienced reality an the universe created by the writer.
2.      The corespondence between this universe and the specifically literary devices-style, images, syntac, etc.-used by the writer to express it. (Goldmann, 1973:312)

Menurutnya, apabila hipotetisnya benar, maka semua karya sastra yang sahih akan mempunyai inner coherence yang merupakan pandangan dunia. Untuk sampai kepada world view yang merupakan pandangan dunia pengarang memang bukan pekerjaan rumah. Goldmann mengisyaratkan bahwa analisis yang dilakukan bukan terletak pada isi (contents), melainkan lebih kepada struktur cerita. Dari struktur cerita itulah kemudian dicari jaringan-jaringan yang membentuk kesatuannya.

3.    Struktur Sosial
Dalam hipotetis, seperti dikemukakan sebelumnya, Goldmann mencoba mendapatkan makna dalam arti menemukan pandangan dunia atau world view yang dikemukakan pengarang dalam karyanya (Goldmann,1975). Dalam hal ini Goldman menyebutkan bahwa semua aktivitas manusia didasarkan pada usaha memberikan makna sebagai respon terhadap situasi khusus dalam konteks menciptakan keseimbangan antara kegiatan masyarakat dan lingkungannya (Goldmann,1975). Karena itu, manusia selalu mempunyai kecenderungan perilaku yang bersifat alami karena manusia berusaha untuk beradaptasi dengan alam dan lingkungan sekitarnya yang merupakan satu proses hubungan timbal balik atau hubungan dialektik (Goldmann,1981). Adapun dasar hipotetis Goldmann adalah:

a.       Semua perilaku manusia mengarah pada hubungan nasionalitas, maksudnya manusia selalu merupakan respon terhdap lingkungannya.
b.      Bahwa kelompok sosial memiliki tendensi atau kecenderungan untuk menciptakan pola tertentu yang berbeda dari pola yang sudah ada; dan
c.       Hanya perilaku manusia adalah usaha yang dilakukan secara tetap menuju transendensi, yaitu aktivitas, transformasi, dan kualitas kegiatan dari semua aksi sosial dan sejarah (Goldmann, 1973:118)

Usaha-usaha manusia seperti yang dilakukan Goldmann di atas dinamakan sebagai fakta kemanusian. Fakta kemanusian dapat dibedakan menjadi fakta individual dan fakta sosial. Fakta sosial mempunyai peranan dalam sejarah. Revolusi sosial, politik, ekonomi, dan karya-karya kultural yang besar merupakan fakta sosial (historis) yang hanya mungkin diciptakan oleh subjek trans-individual. (Goldmann, 1981:97). Itulah sebabnya, sebuah analisis strukturalisme genetik didasarkan faktor kesejarahan karena tanpa menghubungkan dengan fakta-fakta sejarah pada suatu subjek kolektif dimana karya sastra tersebut diciptakan, tidak seorang pun akan mampu memahami secara komprehensif world view atau hakikat makna dari karya yang dipelajari (Goldmann, 1981). Subjek kolektif atau transindividual merupakan konsep yang masih sangat kabur. Subjek kolektif itu dapat berupa kelompok kekerabatan, kelompok sekerja, kelompok teritorial, dan sebagainya (Faruk, 2005:15). Mengenai hal ini kemudian Goldmann mengemukakan bahwa.
These groups are privilleged because they tend to act not on partial elementa of social structure, but on the global human universe. Marx salled these privileged groups social classes. One should see if there are still other which have a decisive role in history, bring about historical change and, in any case, have a dominant influence in major cultural creation. (Goldmann, 1981:41)

Dari batasan tersebut, pada awalnya Goldmann menempatkan pengarang sebagai subjek transindividual pada komunitas sosial yang lebih besar, yakni kelas sosial. Namun, pada fase berikutnya kelas sosial ini tidak dapat dipertahankan oleh Goldmann, selanjutnya pengarang diposisikan pada komunitas yang lebih kecil, yakni kelompok pengarang, filsuf, dan intelektual (Goldmann, 1981:42). Polemik tersebut sebagai proses dialektika yang tidak akan pernah usai. Sebagaimana yang diungkapkan Lucien Goldman dalam bukunya Cultural Creation of Modern Society 1976 , bahwasanya karya sastra – selain dipengaruhi oleh struktur sosial – juga mampu berlaku sebaliknya (interpedensi), yaitu mempengaruhi masyarakat yang lebih luas, khususnya  masyarakat pembaca.
“Analogies between the structure and respective histories of exchange and the novel seem to correspond to a fundamental modification in the nature of the relation between the work and the society with which it is connected. The work no longer represents the meeting point between individual and collective consciousness at the highest point attained by each, as it did earlier; but, on the contrary, represents a much more complex, more dialectical relation.”
 “The opposition lies in the novelist’s realistic statement that this society, which preaches individual autonomy and development, nevertheless negates them in practice by the process of reification and by the conventional, deceptive, inhuman character of social structures. this new, antagonistic relation between the universe of the literary work and the social group will be accentuated in the history of western literature. And corresponding to the very extend of that accentuation and of the economic sector’s growing importance in the entire society, it will tend to transcend the framework of novelistic creation and to extend to other domains of cultural life, even to entirety.”

4.    Pandangan Dunia
Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, hubungan antara struktur sastra dan struktur sosial dimediasi oleh pandangan dunia atau ideologi. Pandangan dunia berarti pandangan umum tentang kosmos yang menyangkut soal hakikat, nilai, arti, dan tujuan hidup manusia serta sistem prinsip dan keyakinan. Pandangan dunia ini berperan dalam menentukan arah kegiatan individu, kelompok sosial, kelas, atau masyarakat. (Tedjoworo, 2001:116).
Sementara ideologi disebutkan oleh Marx sebagai gagasan yang dominan dalam masyarakat manapun selalu merupakan gagasan kelas penguasa; kesetaraan yang tampak pada relasi pasar sebenarnya hanyalah menutupi struktur dalam (deep structure) eksploitasi. Ideologi dalam pandangan ini berfungsi sebagai alat pelegitimasi kepentingan-kepentingan seksional kelas yang berkuasa. Ideologi yang dimaksud menyangkut (1) ide yang berindak sebagai pernyataan koheren tentang dunia dan dominasi gagasan-gagasan borjuis atau kapitalis dan (2) pandangan dunia yang merupakan buah sistematis struktur-struktur kapitalisme yang mengarahkan kita pada pemahaman yang tidak cukup memadai tentang dunia sosial (Barker, 2005:74).
Goldmann memberi batasan untuk istilah pandangan dunia itu sebagai berikut:
A world vision is a convenient term for the whole complex of ideas,  aspirations, and feelings which links together the members of a social group (a group which, in most cases, assumes the existence of a social class) and which oposes them to members of other social groups. (Goldmann, 1977:17).

Batasan itu memberi kita pemahaman bahwa ia tidak lahir begitu saja dengan tiba-tiba karena ia merupakan interaksi antara subjek kolektif dengan lingkungannya. Pandangan dunia ini bersifat historis dan merupakan hasil dari situasi sosial dan ekonomi tertentu (Goldmann, 1981:112). Namun, pandangan dunia ini bukanlah kesadaran yang nyata, melainkan kesadaran yang mungkin (possible consciousness) yang hanya ada dalam imajinasi pengarangnya (Goldmann, 1981:66). Kesadaran yang mungkin adalah kesadaran yang menyatakan suatu kecenderungan kelompok ke arah suatu koherensi menyeluruh, perspektif yang koheren dan terpadu mengenai hubungan manusia dengan sesamanya dan dengan alam semesta (Goldmann, 1981:111).

D.    Metode
Sebagai sebuah teori, strukturalisme genetik memerlukan metode agar dapat dipraktikkan dalam menganalisis karya sastra. Metode adalah cara, strategi untuk memahami realitas yang berfungsi untuk menyederhanakan masalah sehingga lebih mudah untuk dipecahkan dan dipahami (Ratna, 2009:34). Sementara menurut Chamamah (2001:13) menyebutkan bahwa dalam sebuah penelitian harus dipilih metode dan langkah-langkah yang tepat sesuai dengan karakteristik objek kajiannya.
Berkaitan dengan strukturalisme genetik, Goldman merumuskan dasar metode telaah sastranya sebagai berikut.

1.      Penelitian terhadap karya sastra dilihat sebagai suatu kesatuan.
2.      Karya sastra yang dianalisis hanyalah karya sastra yang mempunyai nilai sastra yang mengandung tegangan antara keragaman dan kesatuan dalam suatu keseluruhan yang padat (a coherent whole).
3.      Jika kesatuan telah ditemukan, kemudian dianalisis hubungan dengan latar belakang sosial. Sifat hubungan tersebut (i) yang berhubungan dengan latar belakang sosial adalah unsur kesatuan, dan (ii) latar belakang yang dimaksud dalah pandangan dunia suatu kelompok sosial, yang dilahirkan oleh pengarang sehingga hal tersebut dapat dikonkretkan (Goldmann, 1975).

Untuk mendapatkan pengetahuan mengenai karya sastra seperti itu, Goldmann kemudian menerapkan metode dialektika yang dikembangkan oleh Hegel. Prinsip dasar dari metode dialektik yang membuatnya berhubungan dengan masalah koherensi adalah pengetahuannya mengenai fakta kemanusian yang akan tetap abstrak apabila tidak diperbuat konkret dengan mengintegrasikannya ke dalam keseluruhan (Goldmann, 1977:7). Sehubungan dengan itu, metode dialektik mengembangkan dua konsep, yaitu ‘keseluruhan’ dan ‘pemahaman-penjelasan’ (Faruk, 2005:20).
Menurut Goldmann (1977:5) sudut pandang dialektik mengukuhkan perihal tidak pernah adanya titik awal yang secara mutlak sahih, tidak adanya persoalan yang secara final dan pasti terpecahkan. Oleh karena itu, dalam sudut pandang tersebut pikiran tidak pernah bergerak seperti garis lurus. Setiap fakta atau gagasan individual mempunyai arti hanya jika ditempatkan dalam keseluruhan. Sebaliknya, keseluruhan hanya dapat dipahami dengan pengetahuan yang bertambah mengenai fakta-fakta parsial atau tidak menyeluruh yang membangung keseluruhan itu. Karena keseluruhan tidak dapat dipahami tanpa bagian dan bagian juga tidak dapat dimengerti tanpa keseluruhan. Proses pencapaian dengan metode dialektik menjadi semacam gerak yang melingkar terus-menerus, tanpa diketahui tempat dan titik yang menjadi pangkal atau ujungnya (Fatuk, 2005:20).
Lebih lanjut Goldman menguraikan bahwa, teknik pelaksanaan metode dialektik yang melingkar supaya itu berlangsung sebagai berikut. Pertama, peneliti membangun sebuah model yang dianggapnya memberikan tingkat pobabilitas tertentu atas dasar bagian. Kedua, ia melakukan pengecekan terhadap model itu dengan membandingkannya dengan keseluruhan dengan cara menentukan (1) sejauh mana setiap unit yang dianalisis terbungkam dalam hipotesis yang menyeluruh, (2) daftar elemen-elemen dan hubungan-hubungan baru yang tidak diperlengkapi dalam model semula, (3) frekuensi elemen-elemen dan hubungan-hubungan yang diperlengkapinya dalam model yang sudah dicek itu.
Penelitian ini, teknik pelaksanaan metode dialektik tersebut dilakukan sebagai berikut:
1.      Membangun sebuah model. Dalam penelitian ini bangunan yang memiliki struktur yang padu dijadikan model bagi cerpen Mata Blater. Kepaduan struktur tersebut berarti bahwa ia memiliki system of relations dalam bangunan tersebut. Model tersebut dibangun berdasarkan relasi-relasi antara penokohan, latar dan peristiwa yang ada di dalam struktur teks dengan latar kultural dalam struktur sosial. Struktur tersebut muncul karena dimediasi oleh pandangan dunia pengarang yang ingin diekspresikan dalam karyanya. Sementara pandangan dunia pun akan terbangun dari proses strukturasi antarstruktur di atas.
2.      Melakukan pengecekan terhadap model di atas serta membandingkannya secara menyeluruh. Pengecekan ini dilakukan secra berulang dan terus menerus sehingga dapat ditemukan struktur konseptual pengarang berupa pandangan dunia.
3.      Menghubungkan strukturasi tersebut dengan pandangan dunia pengarang dan teks sastranya.

E.     Analisis
Paradigma sosiologi sastra dengan pendekatan strukturalisme genetik, memandang bahwa karya sastra merupakan fakta kemanusian yang terlahir dari subjek kolektif atau pengarang dengan pandangan dunianya sebagai dasar kreativitasnya. Menurut Faruk (2005) Fakta kemanusian adalah segala hasil aktivitas atau perilaku manusia baik yang verbal maupun yang fisik, yang berusaha dipahami oleh ilmu pengetahuan. Fakta itu dapat berwujud aktivitas sosial tertentu, aktivitas politik tertentu, maupun kreasi cultural seperti filsafat, seni rupa, seni musik, seni patung, dan seni sastra. Dalam hal ini, fakta kemanusiaan yang akan dibicarakan yaitu karya sastra berupa cerpen Mata Blater karya Mahwi Air Tawar yang dikaji dari perspektif sosiologi sastra dengan pendekatan strukturalisme genetik.
Fakta kemanusian, seperti yang telah diuraikan bukanlah sesuatu yang muncul begitu saja, melainkan merupakan hasil aktivitas manusia sebagai subjeknya baik sebagai individual atau kolektif. Subjek kolektif merupakan subjek fakta sosial atau historis, seperti revolusi sosial, politik, ekonomi, dan karya-karya cultural yang besar. Fakta kemanusiaan disini, yaitu karya sastra yang tidak lain adalah susunan struktur teks yang berhomologi dengan struktur masyarakat. Oleh karena itu, hubungan antara kedua struktur tersebut dimediasi oleh pandangan dunia. Menurut Goldmann (dalam Faruk 2005:16) pandangan dunia merupakan istilah yang cocok bagi kompleks menyeluruh dari gagasan-gagasan, aspirasi-aspirasi, dan perasaan-perasaan, yang menghubungkan secara bersama-sama anggota-anggota suatu kelompok sosial tertentu dan yang mempertentangkannya dengan kelompok-kelompok sosial yang lain. Sebagai suatu kesadaran kolektif, pandangan dunia itu berkembang sebagai hasil dari situasi sosial dan ekonomik tertentu yang dihadapi  oleh subjek kolektif yang memilikinya.

1.    Kelompok sosial asal pengarang dan posisinya dalam struktur sosial yang hasil relasinya itu kemudian diungkapkan ke dalam cerpen Mata Blater.

Stratifikasi sosial atau kelas sosial dalam pandangan Marx, secara umum dibagi menjadi tiga kelas yaitu, kelas proletar, kelas buruh, dan kelas borjuis. Demikian halnya, dalam stratifikasi sosial pada masyarakat Madura. Di mana, merupakan tempat kelahiran dan tumbuh berkembang sosok pengarang cerpen Mata Blater, Mahwi Air Tawar. Sebelumnya, pengarang hanya memiliki nama yang sangat pendek dan sederhana, yaitu Mahwi saja. Akan tetapi, dalam perkembangannya, nama tesebut berubah menjadi Mahwi Air Tawar. Perlu diketahui, bahwa nama Air Tawar tersebut diambil dari nama kampung atau dusun di mana ia dilahirkan. Hal ini dilakukan, sebagai bukti atas kebanggaan dan apresiasi terhadap hal yang telah membesarkannya.
Air Tawar merupakan salah satu kampung yang berada dipesisir utara pantai Sumenep-Madura. Setiap hari, masyarakatnya berprofesi sebagai nelayan dan pedagang. Apabila di tilik dari kelas sosialnya Marx, maka pengarang dapat dikategorikan sebagai representasi masyarakat kelas buruh. Artinya, secara psikologis pengarang banyak dihadapkan kepada realitas sosial yang selalu teralienasi atau termaginalkan, meski tidak secara fisik, sebagaimana kelas proletar. Kelas buruh memang sangat dilematis kedudukannya, apa bila dipandang secara ekonomi kelas mereka juga sangat labil. Ironinya, dari sisi budaya kelas mereka juga dipandang sebelah mata. Misalnya, dalam hal menyelesaikan masalah, mereka tidak mau berbelit-belit, praktis dan selesai. Setidaknya demikian halnya yang tercermin dalam cerpen Mata Blater karya Mahwi Air Tawar.
“Celaka. Siapa itu orang membuat gara-gara?” seseorang mendesis bengis, menoleh ke belakang sebelum akhirnya berjalan lekas.
Demikianlah. Sebuah isyarat hinggap dalam benak Madrusin, lelaki bertubuh kekar dengan warna kulit hitam legam. Sorot matanya tajam setajam ujung celurit siap menghunjam, mengiris-ngiris tubuh seseorang yang lancang membangkang terhadapnya sebagai sesosok tokoh yang harus ditakuti dan dihormati.
Bukan. Bukan. Ya bukan tanpa sebab ia bergumam pada saat ia memandai besi. Namun, lebih dikarenakan suara aneh yang tiba-tiba membuatnya tersentak, ketika ia mendongak, seekor kucing hitam melintas tiga kali persis di depannya. Lalu sesaat berselang, suara pelepah pohon jatuh menerpa bubungan rumahnya serta ngiong kucing, ketika itulah Madrusin segera bertindak sebelum semuanya terlambat.

Sebagai catatan, bahwa kesimpulan di atas tidak dapat dijadikan alat untuk mengenaralisir semua yang berkaitan dengan persoalan kelas buruh. Sebab, semuanya harus dilihat secara holistik dan logis, karena mereka dapat juga dikatakan sebagai korban dari sistem yang tidak adil. Sehingga, tidak terjadi distorsi pemahaman terhadap sosial budaya kelas buruh. Posisi kelas sosial pengarang tersebut, memiliki relasi kuat dengan karyanya. Misalnya, ia selalu menyuarakan kelas sosialnya yang selalu dicibirkan. Sosok Blater, dalam konstelasi kognitif pengarang merupakan sebuah hasil yang dilahirkan dari ketidak adanya seimbangan kelas. Akhirnya, untuk mengimbangi kekuatan sosial muncullah kelompok yang mereka sebut Blater sebagai bentuk resistensi sosial budaya. Pemikiran pengarang tidak terelasi langsung dengan sosok Blater dalam cerpennya, akan tetapi pengarang melihat Blater dari sudut pandang orang lain. Ia memosisikan sebagai orang luar memandang Blater, sebagaimana orang-orang yang menaruh hormat kepada Blater dalam cerpennya.

2.    Pandangan dunia pengarang yang terefleksikan dalam cerpen Blater sebagai hasil strukturasi persoalan sosial pada masa kelahiran karya tersebut.

Strukturasi adalah konsep aktivitas kategorial dari pikiran atau perasaan suatu subjek tertentu. Menurut Goldman (1977:15-18) pandangan dunia itu sama dengan konsep kesadaran kolektif yang biasa digunakan dalam ilmu sosial. Selanjutnya, pandangan dunia merupakan istilah yang cocok bagi kompleks menyeluruh  dari gagasan-gagasan, isnpirasi-isnpirasi, dan perasaan-perasaan, yang menghubungkan secara bersama-sama angota-anggota suatu kelompok sosial tertentu dan yang mempertentangkannya dengan kelompok-kelompok sosial yang lain. Sebagai suatu kesadaran kolektik, pandangan dunia itu berkembang sebagai hasil dari situasi sosial dan ekonomik tertentu yang dihadapi oleh subjek kolektif yang memilikinya. Karena, pandangan dunia merupakan produk interaksi subjek kolektif dengan situasi sekitarnya, pandangan dunia tidak lahir secara tiba-tiba. Transformasi mentalitas yang lama secara perlahan-lahan dan bertahap diperlukan demi terbangunnya mentalitas baru dan teratasinya mentalitas lama itu (Goldmann, 1981:112). Diperlukan waktu lama untuk membangun pandangan dunia sebagai citra global, karena pandangan dunia merupakan sesuatu yang koheren dan terpadu mengenai hubungan manusia dengan sesamanya dan dengan alam semesta.
Karya sastra atau karya kultural yang besar merupakan produk strukturasi dari subjek kolektif seperti yang dikemukakan di atas. Oleh karena itu, karya sastra mempunyai struktur yang koheren dan terpadu. Dalam konteks strukturalisme-genetik, seperti yang terlihat dari konsep-konsep di atas, konsep struktur berbeda dari konsep struktur yang umum dikenal. Cerpen Mata Blater karya Mahwi Air Tawar merupakan produksi dari ketidaksadaran kolektif sebagai subjek sosial, yaitu kelompok sosial yang disebut Blater dari kelas buruh. World view yang diangkat oleh pengarang dalam cerpen Mata Blater, yaitu falsafah hidup sebagai manusia Madura “angoa potea tolang, etembang pote mata”. Meskipun padangan dunia ini juga dipegang oleh setiap kelas di Madura, akan tetapi ekspresi, tafsiran, dan manifestasinya dalam interaksi sosial berbeda-beda. Falsafah tersebut, dalam kasus Blater dijadikan sebagai survival strategy akibat gesekan sosial budaya yang mengelilinginya. Sebagai mana yang tercermin dalam cerpen Mata Blater berikut.
“Sati!” sembari membuka bungkusan kecil berisi dupa ia berucap pasti. Dari sepasang bibirnya yang hitam terkulum senyum sambil membayangkan sesosok tubuh terkapar dengan darah tercecer. Dendam yang lama bersemayam sejak beberapa bulan silam, setelah tahu orang tua Sati tak mengizinkan dirinya meminangnya. “Harga diri tak bisa dijual beli. Mesti dijunjung tinggi!” gumamnya.
Lebih baik mati berkalang tanah daripada menanggung hinaan orang. Harga diri harus dijunjung tinggi. Begitu selalu Madrusin mengawali pembicaraan di setiap pertemuan. Kalau benar kabar Sati menangis diancam oleh Indrajid dan dipaksa orang tuanya untuk minum air kembang setiap saat. Maka, tak pelak lagi, tiba saatnya bagi Madrusin memperlihatkan keperkasaannya sebagai lelaki. Ia menganggap Indrajid dan orang tua Sati sendiri melampaui batas. Maka, bergeraklah.



3.    Posisi pengarang dan teks sastranya dalam hubungan dengan perkembangan sastra Madura.

Kiprah pengarang dalam konstelasi perkembangan dunia sastra Madura sangat penting, mengingat kurangnya wacana sastra yang mengungkap sosial budaya Madura apa adanya kepada publik. Terlepas dari opini pro dan kontra terhadapnya, merupakan konsekuensi logis dengan apa yang menjadi perjuangan kelasnya. Secara tidak langsung, kelas borjuis tidak begitu saja menerima wacana yang ditulisnya melalu karya sastra. Karena, kaum borjuis hanya menginginkan wajah mereka teduh dan damai, di balik ketimpangan sosial, kesenjangan ekonomi, dan tandusnya budaya yang dihadapi oleh kelas lainnya dalam realitas sehari-hari. Boleh dikatakan, bahwa karya-karya yang demikian harus ditempatkan sebagai teks yang tidak ditafsiri secara sempit dan kaku.
Lahirnya Mahwi Air Tawar dengan karya-karyanya yang khas, menandakan bahwa periodesasi sastra Madura dari waktu ke waktu sangat dinamis dan tidak stagnan. Sudah saatnya sastra Madura berbicara lancang kepada dunia, bahwa sastra Madura bukan hanya sekedar wine and moon yang angkuh. Akan tetapi, sastra Madura merupakan cerminan atau refleksi realitas yang dapat menjadi bagian dari permasalahan sosial masyarakat Madura dan Indonesia.

F.     Kesimpulan
Pengarang cerpen Mata Blater merupakan anak kandung yang lahir dari rahim kelas buruh, yang memiliki pandangan dunia dan merupakan falsafah hidup sebagai manusia Madura yaitu “angoa potea tolang, etembang pote mata”. Pandangan dunia ini merupakan survival strategy dan resistensi sosial dalam memperjuangkan harkat dan martabat kelompok sosial yang disebut Blater di kelas buruh. Pengarang merupakan lonceng tanda dimulainya reorientasi perkembangan sastra Madura, baik dalam konstelasi lokal atau nasional.


G.    Daftar Pustaka
Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2007. Paradigma, Epistemologi dan Metode Ilmu Sosial-Budaya-Sebuah Pemetaan. Makalah Penelitian Metodelogi Penelitian CRCS UGM.
Air Tawar, Mahwi. 2010. Blater. Lkis: Yogyakarta/
Barker, Chris. 2005. Cultural Studies: Teori dan Praktik. Terjemahan Tim KUNCI. Yogyakarta: Bentang.
Chamamah Soeratno, Siti. 2001. Penelitian Sastra Tinjauan Tentang Teori dan Metode: Sebuah Pengantar. Dalam Jabrohim (ed). 2001. Metodelogi Penelitian Sastra. Hanindita Ghraha Widia: Yogyakarta.
Damono, Sapardi Djoko. 1979. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta: PPPBS DEPDIKBUD.
Faruk. 2002. Novel-Novel Indonesia: Tradisi Balai Pustaka 1920-1942. Yogyakarta: Gama Media
-----------2005. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Goldmann, Lucien. 1976. Cultural Creation in Modern Society. Saint Louis: Telos Preess.

------------------------  1973. Genetic Structuralism in the Sociology of Literature. Dalam Burns, Elizabeth dan Burns, Toms (ed). 1973. Sociology of Literature and Drama. Middlesex: Penguin

-----------------------   1975. Toward a Sociology of the Novel. London: Tavistock Publications.

-----------------------   1981. Method of Sociolofy of Literature. England: Basil Blackwel

-----------------------   1977. Hidden God: A Study of Tragic Vision in the Pensees of Pascal and the Tragedies of Racine. England: Routledge & Kegan Paul.

Ratna, Nyoman Kutha. 2009. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Dari Strukturalisme hingga Poststrukturalisme Perspektif Wacana Naratif. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.

Swingewood and Diana Laurensen. 1972. The Sociology of Litrature. PALADIN 3 upper james street london WrR 4BP.


makalah ini dikutib dari




Tugas MID Matakuliah Sosiologi Sastra

Program Studi Sastra

Fakultas Ilmu Budaya

  

Dosen Pengampu:

Prof. Dr. Faruk HT






Share this article :

0 komentar:

 
Support : Jualan Buku Sastra | Jualan Buku Seni dan Budaya |
Copyright © 2013. areamahwiairtawar - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger