Lama sudah kecenderungan cerpen regenerasi
Indonesia kini bermuka–muka dengan cerita-cerita galau, sendu, duka lara
asmara, percintaan dan perselingkuhan tak berpangkal, tak berujung! Agak aneh
memang, di tengah kondisi sosial yang ganjil, nasib rakyat kecil yang selalu
sial, dan seabrek masalah-masalah
baik yang tampak gaib maupun yang terang benderang masih saja cerita pendek
terkini berlenggang dengan gagasan-gagasan dan pandangan kosong.
Kecenderungan cerpen yang melulu
berkutat dengan tema-tema cinta, hubungan perselingkuhan semakin marak di
tengah situasi dan kondisi yang “tidak adil” membuat harapan masa depan cerpen
Indonesia lebih mencemaskan. Ia tak ubahnya hanya menjadi sebuah hiburan yang
tak bisa menghilang-lenyapkan kesedihan, alih-alih merenung.
Ya, sesudah M. Ali, yang menulis
cerpen Soerabaya, M. Kasim dengan
cerpen Bertengkar Berbisik, Hamsad
Rangkuti dengan Pispot, yang
gagasan-gagasannya membuat pembaca tergelitik sekaligus merasa ironis dan
imajinasi yang mampu menggiring pembaca kepada peristiwa yang tersirat dalam
cerpen-cerpen tersebut!
Tetapi baiklah, biarlah masalah-masalah
yang berkenaan dengan cerita pendek, Tuan Kritikus yang memberi apresiasi,
mengkritik sekaligus menyanjung, menengerai antara pembaca dan penulis, penulis
dan latar belakang penulis. Di sini, saya ingin bercerita tentang sebuah
sayembara buku kumpulan cerpen yang diadakan Perguruan Tinggi ternama Jurusan
Sastra.
Sekali waktu kampus itu mengadakan
sebuah sayembara buku cerpen. Dibentuklah panita, dihubungilah dewan juri yang
terdiri dari sastrawan, dosen sastra, dan salah satu juri dari kalangan muda
diwakili oleh seorang mahasiswa sastra. Disebarluaskanlah undangan dan pamphlet ke seantero negeri yang tengah
dilanda masalah sosial, politik dan krisis “budi
pekerti”, lintas generasi. Di luar dugaan, sejak pengumuman diseberluaskan,
buku-buku yang mau diikutkan sertakan dalam lomba terkumpul dan tak terhitung
jumlahnya. Panitia pun bekerja keras untuk mengirim buku-buku kumpulan cerpen
itu kepada dewan juri.
Dewan juri yang terdiri dari satu
sastrawan, satu akademisi sastra, dan satu dari mahasiswa yang sekaligus
menjadi wakil dari generasi muda dan pembaca umum.
Penjurian berlangsung. Buku-buku
yang tak masuk segera disingkirkan, digeletakkan di lantai dekat kamar mandi. Sesusai
penjurian dipilihlah nama pemenang. Buku-buku dan daftar pemenang disimpan
baik-baik di sebuah laci besi. Bukan tanpa alasan panitia menyimpannya di laci
yang terbuat dari besi itu, mereka khawatir ada panitia berlaku nepotisme atau mengabarkan
kepada pemenang sebelum tiba waktunya. Dalam hal ini, atas kehati-hatian panitia
patut kiranya kita mengacungkan beribu-ratus jempol.
Acara
seremonial pun dipersiapkan. Agar malam penganugerahan semarak para peserta
segera dihubungi untuk hadir. Untuk menghindari berbagai hal-hal yang tak
diinginkan panitia menghubungi polisi, hanya sekedar bersiaga. Seperti yang
diharapkan panitia, gedung acara ramai oleh hadirin yang terdiri dari peserta
sayembara dan tentu juga hadirin dari kalangan umum: dosen-dosen,
mahasiswa-mahasiswa.
Tiga puluh menit menjelang acara
dimulai mendadak panitia dikejutkan oleh sebuah telepon dari salah satu juri yang
mewakili mahasiswa, pembaca umum dan
anak muda. Tentu panitia dan dua juri lainnya panik begitu mendengarnya,
bagaimana tidak. Juri yang masih berstatus mahasiswa meminta dan kalau perlu
akan menulis berita panjang kalau tuntutannya tak dipenuhi oleh juri-juri lain.
Juri yang mewakili pembaca umum
dan masih berstatus mahasiswa itu meminta agar pengumuman pemenang sayembara
jangan diumumkan dulu. Ia minta untuk mengadakan rapat kembali setelah membaca
ulang sebuah buku yang ia geletakkan di dekat kamar mandi.
“Buku karangan siapa itu?” tanya
juri.
“Pengakuan Pariyam karangan Linus
Suryadi AG?”
“Hah? Bukannya itu buku puisi?”
“Betul. Bukannya pengarang buku
tersebut sudah meninggal?” Sambung juri yang satu.
Juri yang mewakili pembaca umum
dan generasi muda yang hendak menggantikan pemenang sayembara buku kumpulan
cerpen itu tersentak kaget antara malu lantaran tak bisa membedakan cerpen dan
puisi. Ia juga merasa menyesal lantaran selama duduk di bangku kuliah tak
pernah mengenal penulis Pengakuan Pariyan, Linus Suryadi AG.
Tapi sebentar, apa hubungannya
antara cerita di atas dengan catatan yang hendak saya tulis. Apa pula
kepentingan saya dengan mahasiswa sastra. Bukannya sebagai pembaca tugas saya
hanya untuk menikmati pembacaan cerpen-cerpen dan kalau perlu menggaris bawahi
beberapa kalimat yang barangkali dibutuhkan untuk membujuk dan merayu seorang
gadis?
Yogyakarta,
2014
0 komentar:
Posting Komentar