Kumpulan cerpen karya Mahwi Air
Tawar “Karapan Laut” ini memiliki benang merah di ‘laut’ seperti terbaca pada
judulnya. Laut yang merupakan baskom besar berisi ganangan air beriak bagi
sebagian kita yang jauh dari laut, menjadi ber’jiwa’ di tangan Mahwi dengan
mengangkat kehidupan pesisir yang dinamis. Laut berbicara, laut menjadi sumber
petanda bagi sisi masyarakat yang nelayan, yang Madura dalam buku ini.
Lokalitas masyarakat nelayan di
daerah Madura dengan detil setting yang tertuang dalam cerpen-cerpen tersebut
menjadi kekayaan yang khas. Penghargaan pada BUPAK – RATOH – GURUH yang merupakan tiga pilar penting masyarakat
Madura hadir mendera dalam tulisan tersebut seakan menjadi ruh dalam buku ini.
Dalam Anak Laut semisal, hubungan
antara Durakkap dan Ramuk sebagai ayah dan anak yang saling menjaga kehormatan
keluarga berakhir dengan pertumpahan darah dengan keluarga lain. Guruh atau
guru dalam cerpen tersebut yang disandang Rabbuh tetap dihormati dan diperlakukan
hormat dalam pertarungan carok yang
jantan oleh Durakkap yang sebenarnya kecewa terhadapnya.
Dunia nelayan yang miskin, yang
bertaruh hidup di laut dan berjuang dari lilitan hutang rentenir mewarnai
cerita. Perjodohan dini (dengan jabang bayi yang masih dalam kandungan) juga
mengalir dalam Tubuh Laut hingga detil peristiwa
pesta pernikahan di kampung
nelayan Madura. Sapi Sono’ mengupas
suka duka memelihara dan memiliki sapi primadona dalam tontonan masyarakat
menyajikan sentuhan baru. Bila dalam banyak cerita rakyat kita tak banyak
mengasihi hewan (si Tumang dalam legenda Tangkuban Perahu malah tragis karena
dimakan anaknya), ada foice yang
berpihak pada Rattin si sapi pesolek yang didandani sang pemilik namun juga
dieksploitasi untuk kesenangan dan memelihara keangkuhan sang pemilik. Banyak
yang bisa didiskusikan perihal kearifan lokal dalam buku kemenangan Mahwi
sebagai penulis yang kekeh dalam membawa sastra yang nyastra tanpa campurtangan
media dengan batasan ideologis masing-masing media ini. Selain Bupak-Ratoh-dan guruh yang
saya ungkapkan tadi, lebih baik putih tulang daripada putih Mata juga beberapa
kali muncul dalam cerpen-cerpen Mahwi kali ini, dan juga penamaan karakter yang
sangat lokal.
Plot dalam cerpen-cerpen Karapan Laut cukup dinamis, keterbatasan
cerpen yang tentu saja pendek tidak membuat cerita-cerita ini jadi
‘pendek’ namun
menyisakan perenungan. Bila kadang
kekerasan tampak dimenangkan dalam cerpen-cerpen ini, menurut saya itu bukan
semata-mata sebagai sebuah kekerasan tetapi kerja semesta yang coba dihadirkan
dalam cerita. Salah-benar bukan bagian yang saklek dalam tulisan-tulisan ini
tetapi sesuatu yang dinegosiasikan. Sesuatu dihadirkan bukan antara paramount sebagai pusat yang diamini peripheral, tetapi keduanya saling
bertukar posisi. Kernel dan satellite yang saling bertukar, dan ini menjadi
kekuatan cara bercertita Mahdi di sini.
Bila Oka Rusmini banyak menulis
tentang Bali dengan kebaliannya dan
pembelaan pada kaum perempuan dalam tradisi Bali, ada Mahdi Air Tawar yang bicara
tentang dunia lelaki dari Madura dengan kemaduraan yang kerab menempatkan
perempuan dalam dua sisi berlawanan secara simultan, sebagai Subjek dan Objek
secara bersamaan pada
posisinya dalam budaya. Misal Markoya sang penjaja keliling hadir dalam wacana
perempuan powerful di sini dalam cerpen BINDRING,
dia pekerja keras dan tidak tergantung pada lelaki. Tapi kegagahannya sebagai
perempuan baru muncul ketika kaum lelaki berangkat kerja, saat tak ada kekuatan
lelaki di perkampungan, dia
baru datang
mengambil alih posisi subjek, namun disaat yang sama juga dia tak berdaya di
hadapan Ke Bruddin yang laki-laki. Lastri yang melacur sambil berjualan
keliling dihadirkan gagah sebagai pemberani, tak risau dengan gunjingan orang
perihal kebiasaannya menjual tubuh selain jual baju, dia berani memilih, untuk
uang. Tapi dia juga hilang percaya diri saat ingat sang guru, Ke Bruddin yang memesan
kafan padanya yang kemudian dipahami sebagai tanda perintah agar ‘insaf’.
Artinya dia pun mengakui dirinya pendosa, maka terpikir untuk bertobat.
Lantaklah kekuatannya. Istri Kiaji Subang yang kalah kuasa saat suaminya
berkehendak menikah dengan pesinden, dihadirkan dengan irasionalitasnya sebagai
perempuan yang menggunakan Letre’ menjadi sangat perempuan. Tapi saat dia
menego penjaga
kubur dengan tubuhnya yang telanjang bulat, dia memegang kendali atas lelaki.
Saat hadir dalam cerpen Bajing, si istri menjadi pelampiasan kemarahan sang
suami, diobjekkan karena dia rasional dengan pernyataan atau pun pertanyaannya. Namun posisinya menyubyek saat dia
dengan ketus memadamkan api tungku dengan menancapkan kayu yang membara itu ke
pasir.
0 komentar:
Posting Komentar