Madura yang didera terik semangat matahari mengiringi
perjalanan kami. Ya, kami bertiga: Irsyad Mohammad, anak muda yang selalu
menggenggam bara semangat revolusi. Budi Prasetyo, sahabat sepenanggunan nasib
ketika kami sama-sama nyantri di pesantren
Hasyim Asy’ari Yogyakarta.
Selepas Jembatan Suramadu yang merana, kami
berbagi cerita baik cerita usang maupun cerita garang para caleg yang remuk-sengsara
lantaran tak terpilih. Tentu cara kami menyuguhkan cerita berbeda-beda: Irsyad
Muhammad, misalnya, yang setiap kali mengawali ceritanya selalu penuh bara,
semangat berapi yang mungkin tak semua anak muda sepantarannya bisa, dan sudah
pasti Budi tak akan bisa memadamkan ceritanya, kecuali saya.
Budi yang selalu menggumamkan nama sahabatnya,
Kiai Yunus BS, yang kini tengah mengekor kepada Bupati Sumenep yang tidak saya
hormati. Budi bercerita, ia teramat
sangat kangen kepada sahabatnya, Yunus BS, ingin ia segera bersua, meski dalam
setiap nadanya selalu terceletuk nada getir, khawatir, sahabat yang ia rindukan
itu tak ada waktu menemuinya.
Dan Irsyad Muhammad tak habis-habisnya
melambungkan kekagumannya kepada setiap diktator Madura yang tak pernah enggan
menumpas kejahilan dan sekaligus kepura-puraan.
Saya sendiri tak paham dengan sekelebat-kelebat
bayangan, Madura, tanah kelahiran yang entah sepanjang perjalanan wujudnya
hanya tinggal rangka. Madura telah “tiada”, gumam saya. Tak lagi kujumpai
rumah-rumah dengan arsitektur kampung meji, tanean lanjang, dan langkah langkah
gemulai perempuan-perempuan perkasa.
Setibanya di Sampang, kabupaten yang tak
kunjung usai meradang, dan tak habis-habisnya dijadikan objek fitnah baik oleh
orang-orang di luar Madura maupun oleh orang-orang Madura sendiri, sehingga Sampang
yang saya cintai remuk dikoyak-koyak kekerasan fitnah yang terus mendera dan
terkadang menerabas garis batas harga diri orang Madura. Ah, di sini, diam-diam
kurindukan sosok kharismatik, Kiai Alawi Muahammad, Kiai yang penuh wibawa dan
tak pernah gentar dan pantang mundur hadapi tantangan.
***
Baiklah, kita lupakan cerita duka-lara Madura. Toh,
Budi Prasetyo sudah ngorok, Irsyad Muhammad lebih tertarik dengan suasana alam
Madura, sehingga ia diam seribu komentar.
Mobil kami tiba di kota kelahiran saya,
Sumenep. Saya lihat Ahmad Darus, seniman dan budayawan Sumenep yang mengisi
hari-harinya dengan berkarya, mendidik anak-anak sekitar kampung halamannya,
Banasare, Rubaru. Tampaknya sudah lama beliau menunggu kedatangan kami. Dengan
haru-biru rindu saya memeluknya dengan isak tangis yang tak bisa saya
sembunyikan. Dalam pelukannya saya menangis, dalam peluknya saya merengek, dalam
pelukannya saya tanya kabar seniman, budayawan yang banyak berperan mengenalkan
seni-seni tradisi Sumenep ke manca Negara, Edy Setiawan. “Beliau sakit. Beberapa
kali nanya kabarmu,” jawab Pak Darus.
Ya, lama sudah saya tak bertemu Bapak Edy Setiawan,
terakhir 2007 ketika kami berkolaborasi mementaskan topeng dalang dengan
konsep virtual di TIM, Jakarta.
Sekeluar dari rumah Pak Edy Setiawan, kami
melanjutkan perjalanan ke rumah Pak Darus, Banasare, Rubaru. Mereka adalah
orang-orang yang tulus, seniman-senimat hebat, ujar Pak Darus, ketika saya menggumamkan
nama-nama seniman, Pak Edy Setiawan, dalang topeng, almarhum Ki Sappar, penyair
Hidayat Raharja, Agus Suhardjoko, Syaf Anton WR, dll.
Tiba di rumah Pak Darus, Irsyad langsung
menagih janji, ‘Om Mahwi, kapan ke pantai Slopeng?’, Budi melirik tak senang, ‘istirahat
dulu, Ir, mandi.’ Jawabku.
Selesai mandi kami langsung tancap gas menuju pantai Slopeng. Di sana,
tak seorang pun terlihat, di pantai yang oleh pemerintah daerah dipromosikan
sebagai tempat wisata itu tak tampak seorang pengunjung lain, kecuali kami berempat.
Ahmad Darus, Irsyad, Budi, dan saya sendiri.
Di pantai, Irsyad tak henti-hentinya bergumam
takjub, begitu juga dengan Budi. ‘Ada ya pantai seindah dan perawan ini.’ Sementara
saya dan Pak Darus larut diayun angin cerita-cerita, kesenian-kesenian yang
mulai habis terkikis.
“Hanya kepadamu saya berharap, segera
dokumentasikan, timbalah kearifan-kearifan Madura.” Tegas Pak Darus. “Nanti
malam kita ke desa Longos, ada pertunjukan topeng di sana.”
Mendengar dan meresapi baburugan Pak Darus, mendadak ingatan saya disergab sebuah sepotong
sajak Selain Laut, Abdul Hadi WM:
Suatu sore aku duduk
mengenang kisah itu kembali, antara kita:
sebuah laut dan juga rerontok tiram,
Mereka semua berdiri dan memanggilku:
cahaya kabur, ombak gaduh yang tak pernah diam
dan bintang laut yang jari-jarinya lunglai—
mereka semua memanggilku dan menjerit-jerit
hingga aku tak mengenalnya kembali
0 komentar:
Posting Komentar