Home » » Catatan Harian: Juni, dan Hujan Kenangan

Catatan Harian: Juni, dan Hujan Kenangan


Di penghujung Mei 2004, sekuntum kenangan mekar mewangi. Di penghujung Mei, di sepertiga malam, di sepertiga kenangan, seorang lelaki kurus kerempeng datang mengetuk pintu perkenalan. “Koto,” suaranya serak kepala menunduk, mengatupkan sepasang bibirnya yang penuh bintikan hitam, sembunyikan “aib” giginya yang ompong.




Di penghujung Mei, di penghujung kenangan waktu mendedah kisah: sedih gelisah, risau dan galau, lapar tertulis di lembar-lembar takdir hari-hari. Meski perkenalan kami berjalan singkat, tapi aneh, keakraban begitu cepat merekat. Juni pun jadi saksi, hujan mengalirkan deras peristiwa dalam persahabatan kami. Juni mengulum senyum, mengiring perjalanan kami yang serba mampus dikoyak-koyak sepi.  


Sejak itu, diam-diam kami merawat bara semangat, mencecap asin keringat puisi. Ya, puisilah yang membuat kami betah bertahan! Diam-diam  kami saling merawat rasa curiga, dendam dan sepasang mata batin penuh awas: “puisi apa yang Koto tulis sekarang?” batinku. “tidak, saya tidak boleh lalai, jangan sampai. Jangan sampai.” Begitulah kira-kira pertanyaan batin yang tak pernah terungkap, pertengkaran batin garang di lumbung proses.


Benar saja, satu langkah ia mendahului saya, puisinya dimuat di koran Tempo, hingga hari-hari selanjutnya puisi-puisinya yang penuh ancaman terus bertengger di punggung Koran Minggu: Kompas, Suara Merdeka, dan lain-lain. Sementara saya sendiri dengan strategi “licik” segera pasang mata-mata menengok jalan lain, jalan cerpen. Dan benar saja, strategi berhasil, ketiga cerpen yang saya kirim ke Harian Kedaulatan Rakyat, Bernas dan Republika muncul di ketiga media itu. Sementara untuk Kedaulatan Rakyat yang ketika itu digawangi oleh almarhum Arwan Tuti Artha, memuat cerpen Sebutir Manik Tasbih Tapanoli, dan satu puisi di Minggu dan koran yang sama. Telak! Batinku.


Tentu kompetisi kami tak hanya dalam berkarya tapi juga dalam pencarian, mengecek koran hari Minggu, dengan degup hati dan was-was di atara kami bertanya, “karya siapakah hari ini yang mencapai garis “finish!” aku atau Koto?”


Ya, kami generasi yang tidak pernah aman. Sungkup bahasa dan peristiwa tak pernah berhasil halau deras hujan Juni, sehingga banjir produktifitas, petir kreativitas terus menyambar menggerus “cerpen-puisi” kami ke berbagai media. Bila salah satu di antara kami pulas di ranjang malas, beberapa penyair seakan datang menggedor pintu batin. 

“Hei. Kamu tak tahu malu, mandul. Mana karyamu kok tidak muncul?!” sudah pasti kami tak bisa mengelak, dan selanjutnya kami berlari antara menjemput ide, gagasan dan menahan lapar yang kerap mendera.

***

Angin dan hujan bulan Juni tak pernah bosan mengantar kami membuka katup-katup lain, mengantar kami ke bulan-bulan berikutnya hingga tibalah kami di sebuah kampus putih, UIN Sunan Kalijaga. Ya, 2004, kami seperti diikat takdir untuk tidak berjarak, dan senantiasa menjaga detak kreativitas.


Atas kebaikan seorang kenalan, yang sepintas ia seperti seorang pemarah mengajak kami berteduh di rumah kontrakan di daerah Nologaten. Duh, kenapa kami mesti berkumpul dengan orang-orang yang sama-sama tak banyak bicara? batinku. Jusuf AN, itulah nama lelaki baik hati itu.


Beruntung, dan diam-diam saya membenarkan mutiara kata ulama syalaf terkemuka, Imam Syafi’i, “Diam itu emas!”. Selanjutnya, di rumah itu kami tak banyak bicara, kami lebih banyak mengeksekusi ide, gagasan ke dalam cerpen, puisi dan esai. Di rumah yang kemudian kami beri nama Wisma Puitika itu, nyaris setiap malam kami mengeksekusi ide, sebelum akhirnya melayangkan ide-ide —cerpen dan puisi— itu ke berbagai media, dan seperti biasa di hari Minggu penuh penantian kami tetap merawat curiga, dendam dan bersiap kecewa kalau ternyata di antara puisi cerpen kami kalah berperang hingga terkapar di “tong sampah redaksi” atau tertinggal jauh lantaran pendakian yang sangat terjal sehingga membaut langkah kami terlambat.


Di samping media-media lain medan laga langganan “menang telak” bagi kami adalah Kedaulatan Rakyat, Suara Merdeka dan Wawasan, bukan apa-apa tapi karena hal teknis yakni pengambilan honor diketiga media itu secepat samurai membelah tubuh. Ahad dimuat, Senin menjemput honor. Terimakasih redaktur-redaktur berhati luhur, Kedaulatan Rakyat, Suara Merdeka, dan Wawasan, yang selalu mengerti saat-saat kami membutuhkan honor untuk makan!


Tibalah kami di tapal batas, saya yang menikah terlebih dahulu segera terpisah dengan kedua “musuh” sengit itu, dan setahun  kemudian Jusuf AN menyusul. Untuk Jusuf AN, tentu kami patut berbangga hati. Semenjak menikah karya-karyanya deras mengalir, sederas hujan di bulan Juni. Novel-novel pun melimpah, meski suatu waktu ia pernah sakit hati lantaran ulah Indiran Koto, yang membangunkannya karena di Kompas ada cerpen berjudul Sumur, yang kebetulan Jusuf AN, punya cerpen dengan judul Sumur dan dikirim ke Kompas. “Cup, Cup. Sumur di kompas.” jusuf pun tersentak dan langsung mengeluarkan motornya, tancap gas tanpa cuci muka dulu. Apa yang terjadi? Koto benar, cerpen yang dimuat judulnya Sumur, persis seperti cerpen Jusuf. Eits. Penulisnya? Tentu saja bukan Jusuf AN, melainkankan Gus TF Sakai. “Mampus kau!” teriak kami membalas wajah cemberut Jusuf.


Duh, mohon ampun “sastrawan-sastrawan muda mulia”, bukan maksud hati bercurhat atau bernostalgia ria, tapi begitulah adanya, kami memang generasi tidak aman, merawat dendam dan curiga dalam hal berkarya. Kami tak pernah mau mengalah dan tak seorang pun boleh mendahului selain kami—mengecek koran Minggu—. Kenyataannya, peristiwa proses kreator hari ini lebih khusyuk dan larut dalam puja-puji, pamer foto saat bersama sastrawan idola ketimbang hidup tak aman dalam meditasi!  

***

Juni, di pintumu kami mengetuk, lama sudah kami tak bersua karya, lama sudah kami tak bertengkar, tak saling curiga, tak saling dendam. Izinkanlah pada pertemuan ini kami berpeluk mesra, merajut kenangan, menggali sumur kreativitas yang lekang lantaran kemalasan.


Satu lagi, di antara kami, Indrian Koto, akan meniti hidup baru bersama penyair Jogja, Mutia Sukma, 21 Juni nanti. Harapan selain mereka hidup bahagia, sejahtera, adalah semoga bara kreativitas tak padam diguyur Hujan Bulan Juni. > bersambung...





                                                                              Jogja, Juni, 2005-Jakarta, Juni 2014
Share this article :

1 komentar:

raffaelloeagen mengatakan...

How to get to Wynn casino via bus from - DRMCD
The cheapest way to 성남 출장마사지 get 울산광역 출장샵 to Wynn casino via bus from Phoenix International Airport 통영 출장샵 (PHX) costs 제천 출장안마 only $1, and the quickest 속초 출장샵 way takes just 1 minute.

 
Support : Jualan Buku Sastra | Jualan Buku Seni dan Budaya |
Copyright © 2013. areamahwiairtawar - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger